
Semuanya tengah menatap ke arahnya.
Oh God, apa yang telah dilakukan Ferry pada kampusnya ini...??? Detik itu, Indra merasa ingin menguliti saudara kembarnya hidup-hidup.
***
Di ruang UKM Pers yang sepi, Anisa membuka-buka majalah yang tampak menumpuk dalam rak koleksi kantor itu. Saat tengah duduk di atas karpet sambil asyik membuka-buka majalah, Rizal masuk dan menghampirinya.
“Nis, kudengar Ferry dibawa ke rektorat, benar?” tanyanya.
Anisa mengangguk. “Iya.”
Rizal jadi termenung. “Rektorat pasti telah mempersiapkan hal ini. Mereka pasti sudah tahu hari ini kawan-kawan Ferry di UKM Pers tengah ikut lokakarya jurnalistik di Yogya, dan tinggal Ferry serta beberapa reporter semester awal yang masih ada. Dia pasti akan ditekan habis-habisan.”
Anisa menatap Rizal, dan merasa sangat khawatir. “Apa yang kira-kira akan terjadi dengannya, Zal?”
Rizal mengangkat bahunya. “Aku tidak tahu, Nis. Aku sendiri kan tidak ikut UKM Pers. Tapi mungkin Ferry akan dipaksa mengikuti keinginan mereka. Mereka mungkin berpikir kalau Ferry hanya sendirian akan lebih mudah ditekan.”
“Menurutmu, apakah Ferry akan bisa menghadapi masalah dengan Rektor ini, Zal?”
Rizal seperti merenung. “Mungkin sekarang bukan hanya Rektor yang dihadapi Ferry, Nis...”
“Maksudmu?” Anisa menatap Rizal lekat-lekat.
Rizal menjawab, “Semua Purek tidak ada di kantornya. Mereka pasti berkumpul di kantor Rektor.”
Sepeninggal Rizal, Anisa merasakan kepalanya tiba-tiba berat. Majalah yang terbuka di pangkuannya kini tak jelas lagi dalam pandangannya. Huruf-huruf yang tercetak di sana seperti mengabur perlahan-lahan.
***
Dua jam setelah itu, Indra keluar dari gedung rektorat dan berjalan tergesa-gesa ke ruang UKM Pers. Wajahnya tampak lelah sekaligus kebingungan. Berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya. Apa sebenarnya yang telah diperbuat Ferry hingga mereka begitu ingin membunuh dirinya?
Sesampai di ruang UKM Pers, Indra mendapati Anisa yang tengah menelungkup sambil memegangi kepalanya.
“Anisa...” Indra mendekatinya dengan khawatir.
Anisa mengangkat kepala, dan bayang-bayang di hadapannya masih terlihat kabur.
“Kau... kau kenapa?” Indra menatapnya dengan bingung.
“Kepalaku berat sekali, Fer,” rintih Anisa perlahan. “Pusing...seperti biasa.”
Indra sudah mendengar dari Ferry kalau terkadang Anisa mengalami saat-saat seperti ini. Ferry mengatakan fisik Anisa lemah, mudah terserang pusing kepala dan terkadang sampai pingsan. Menurut dokter yang pernah memeriksanya, Anisa mengalami gejala tipus. Mungkin Anisa juga kena anemia hingga sering menderita pusing seperti ini, pikir Indra.
Indra pun segera tahu apa yang harus dilakukannya. Dia meninggalkan Anisa dan segera menuju kantin kampus untuk mencari makanan. Sejak tadi mereka memang belum makan siang. Dan urusan dengan rektorat tadi semakin membuat mereka terlambat makan siang.
Sesampai di kantin, dengan terengah-engah Indra menemui petugas kantin untuk memesan makanan dan minuman. Rizal yang juga ada di sana segera menegurnya.
“Tampangmu berantakan sekali, Fer. Ada apa?”
“Anisa seperti akan pingsan, Zal,” jawab Indra langsung.
Rizal langsung paham. “Dia masih di ruang UKM?”
Indra mengangguk.
Rizal berkata, “Kau tunggu saja di sana dan temani pacarmu. Aku akan bawakan pesananmu.”
“Tidak merepotkanmu?” tanya Indra ragu-ragu.
“Kantin ini ramai, Fer,” kata Rizal. “Pergilah, temani Anisa.”
Indra mengucapkan terima kasih, lalu segera pergi meninggalkan kantin.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 47)