
“Jadi kau juga ada kencan dengan Hilda?” Indra tertawa menggodanya saat Ferry menanyakan hal itu.
“Barusan dia nelepon dan mengajak bertemu di hotel yang biasa.” Ferry menceritakan. “Nah, hotel yang biasa itu dimana? Kenapa kau tidak mencatat masing-masing nama cewekmu sekaligus nama hotel tempat kalian biasa kencan?”
Sekali lagi Indra tertawa, lalu menyebutkan hotel yang dimaksud Hilda. Ferry benar-benar mengingatnya dalam pikirannya. Indra juga menyebutkan reservasi di hotel itu, sekaligus ciri-ciri Hilda. Sekali lagi Ferry mencatatnya dalam pikirannya.
“Dia sangat mengagumkan,” kata Indra kemudian.
“Aku tak akan meragukannya,” jawab Ferry. “Oh ya, Ndra, kau dapat undangan dari Pak Hasnan, produsermu. Dia ulang tahun, dan kabarnya akan dirayakan di villanya di Bogor. Kau tidak keberatan kalau aku yang menghadirinya?”
“Itu jadi milikmu, Fer. Datang saja, kau pasti akan menyukainya. Banyak artis yang akan datang. Aku sudah pernah menghadirinya beberapa kali. Tiap tahun Pak Hasnan merayakan ulang tahunnya.”
“Baiklah. Ada intruksi khusus untuk acara itu?” tanya Ferry kemudian.
“Tidak ada. Kau pasti bisa menghadapinya. Itu acara yang tidak jauh beda dengan acara ulang tahun biasa.”
“Aku jadi penasaran...” gumam Ferry. Ia belum pernah menghadiri acara ulang tahun para artis.
“Kau tidak perlu penasaran, Fer.” Indra mengingatkan. “Kencanmu besok malam dengan Hilda akan membuatmu terlupa segalanya, termasuk pesta ulang tahun itu.”
Begitu hubungan terputus, sekali lagi Ferry menghitung detik jam. Salah satu kencan impiannya tinggal menunggu bergantinya hari. Dan... itu tak lama lagi.
***
Persoalan dengan rektorat yang dikatakan oleh Ferry tak akan diungkit-ungkit lagi selama satu bulan ini, ternyata meleset dari dugaannya. Tanpa disangka-sangka sama sekali, suatu siang Indra mendapat panggilan mendadak dari seorang petugas akademik yang mengundangnya untuk bertemu dengan Pak Handoko, sang Rektor Universitas. Indra yang sama sekali tak mempersiapkan diri menghadapi hal itu langsung kalang-kabut.
Ia tak memahami permasalahan itu seratus persen, karena menurut Ferry tak akan dipersoalkan selama Indra menggantikan tempatnya, dan Indra pun tak terlalu merisaukan masalah itu. Tapi sekarang dia harus menghadap rektor universitas untuk membicarakannya. Lebih dari itu, Indra hanya diundang seorang diri—tiga kawan Ferry yang lain tak diundang untuk turut serta.
“Hanya saya yang diundang?” tanya Indra menegaskan, saat melihat petugas akademik itu masih berdiri menantinya di depan kantor UKM Pers, tempat dia sedang duduk berdua dengan Anisa.
Petugas akademik itu mengangguk. “Begitulah pesan yang saya terima.”
“Saya boleh tahu ini untuk urusan apa?” Indra masih ragu-ragu.
“Saya tidak bisa menegaskan, tapi mungkin ini berkaitan dengan berita di majalah itu.”
Oh sialan, batin Indra kesal. Mengapa Ferry harus bikin masalah seperti ini? Maka Indra pun bangkit dan mengikuti petugas itu, dan meninggalkan Anisa yang menatap kepergiannya dari belakang. Semoga saja berita diculiknya dia dari kantor UKM ini segera diketahui kawan-kawannya, Indra berdoa dalam hati.
Memasuki gedung rektorat, Indra merasa jantungnya kian berdebar-debar. Apa yang harus dikatakannya nanti? Saat menceritakan kasus ini, Ferry tidak mempersiapkan kemungkinan yang akan terjadi seperti ini. Dan sekarang Indra tak punya waktu menelepon Ferry untuk meminta penjelasan atau arahan apapun, bahkan sekarang langkah-langkahnya semakin mendekati lantai paling atas gedung itu, tempat sang monster tengah menunggu untuk memangsanya hidup-hidup.
Oh sialan! Sekali lagi Indra mengutuk saudara kembarnya. Tetapi, Indra pun akhirnya memahami bahwa ini merupakan bagian permainan mereka. Jadi, tak ada jalan lain selain menghadapinya.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 46)