love, cintaMalam hari yang lain, Ferry menikmati berendam dalam bath-tub yang biasa digunakan Indra untuk menenangkan dirinya. Sebagaimana kebiasaan Indra, Ferry pun meletakkan ponsel di dekatnya berendam, dan kemudian berbaring tenang dalam air hangat yang menyegarkan.

Sambil berendam dalam kehangatan air, Ferry membayangkan kehidupan baru yang dijalaninya selama hampir dua minggu ini di Jakarta. Kehidupan yang menyenangkan. Kehidupan yang sama sekali berbeda jauh dengan yang biasa ia jalani di Semarang. Kehidupan seorang artis.

Ferry kemudian membayangkan saudara kembarnya berendam dalam bath-tub ini, merasakan kehangatan air yang menelusup ke dalam pori-porinya, lalu mengadakan janji dengan teman-teman kencannya, menerima undangan pesta dan ajakan dugem seperti yang telah diterimanya selama hampir dua minggu ini. Alangkah menyenangkan kehidupan Indra, batin Ferry. Dan sekali lagi Ferry menganggap kemiripannya dengan Indra sebagai berkat yang tak ternilai harganya. Karena kemiripan itulah dia sekarang bisa menempati posisi Indra, sekaligus memperoleh begitu banyak kenikmatan yang tak mungkin dia terima kalau saja mereka tak dilahirkan sebagai saudara kembar.

Di dalam bath-tub itu, Ferry seperti terlupa dengan segala urusannya di Semarang. Dia terlupa pada kasusnya dengan rektorat menyangkut berita di majalah kampusnya. Dia terlupa pada beberapa pertemuan yang harus dihadirinya menyangkut aktivitasnya sebagai mahasiswa. Dia pun kadang terlupa bahwa dia memiliki Anisa, seorang kekasih yang amat mencintai dan dicintai olehnya.

Ponsel di dekatnya berbunyi. Tampak nama Dimas di layarnya. Sekali lagi dia merasa menjadi Indra, merasa menjadi seorang artis terkenal.

“Halo, Dim,” sapa Ferry.

“Ndra,” kata Dimas dengan nada efektif seperti biasa, “kau mendapat undangan dari Pak Hasnan, dan undangannya masih ada di tempatku.”

Ferry menyahut tanpa sadar, “Pak Hasnan siapa?”

“Ya Tuhan, kau kena amnesia?!” seru Dimas. “Pak Hasnan! Hasnan Wibowo! Produsermu!”

“Oh, sori. Iya, aku tahu!” jawab Ferry akhirnya. “Undangan apa?”

“Ulang tahunnya yang kelima puluh,” Dimas menjelaskan. “Acaranya di villa pribadinya di Bogor.”

Mereka bercakap-cakap ringan selama beberapa saat, kemudian Ferry meletakkan ponselnya.

Ferry memperbaiki posisi tubuhnya dalam bath-tub agar lebih nyaman, tapi kemudian ponsel di dekatnya kembali bernyanyi. Ini pasti teman kencan, batinnya saat mendengar ringtone yang telah dikenalnya. Dilihatnya nama Hilda tertera di layarnya. Seketika itu pula, Ferry merasa berdebar.

“Halo, Hilda,” sapa Ferry sambil menegakkan duduknya. Dia belum pernah bertemu dengan perempuan ini.

“Malam, Sayang,” desah Hilda di seberang sana. “Aku mendengar suara air. Kau lagi berendam?”

“Iy-iya,” jawab Ferry sambil sedikit merasa risih. Apakah dia juga tahu kalau aku sedang telanjang?

“Ndra, kapan kita bisa bertemu lagi? Kau masih sibuk syuting?” tanya Hilda kemudian dengan suaranya yang menggoda.

“Ng... untuk saat ini tidak,” jawab Ferry. “Lagi break.”

“Aku kangen, Ndra.”

“Aku juga,” desah Ferry.

“Kita bisa bertemu di hotel yang biasa?” tanya Hilda kemudian.

“Hotel yang mana?” Ferry balik bertanya dengan hampa.

“Aduuuh, memangnya kau ke hotel mana saja sih, Ndra?”

Ferry menahan senyumnya sambil bingung. “Aku... hm, maksudku, hotel yang mana, Hil? Kita kan... hm, pernah ganti hotel?”

“Cuma dua kali, kan?” Hilda mengingatkan. “Itu pun karena kita kepergok reporter itu. Kita tetap di hotel yang biasa saja. Di sana lebih private.”

“Mmm, baiklah,” kata Ferry akhirnya.

Hilda kemudian bertanya, “Kapan kau bisa?”

“Kapan kau menginginkannya?” sahut Ferry.

Hilda tertawa senang. “Kau ada waktu besok malam?”

“Hm, baiklah.”

Dan Ferry pun menghitung detik jam.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 45)