love, cintaElisha memandangi Ferry. Tak berkedip. Tak berkata apa-apa. Dan saat Ferry menyentuh tangannya, tiba-tiba Elisha bangkit dan mendekap Ferry, dan menangis.

Elisha berkata dengan kacau. Ia mengatakan banyak hal secara sekaligus hingga kata-katanya sulit ditangkap. Dan tangisannya semakin membuat ucapannya tak jelas terdengar.

“Aku tahu... Aku tahu...” bisik Ferry menenangkan saat mendengarkan kehancuran hati Elisha.

Akhirnya tangisan itu mereda, dan ucapan yang kacau-balau itu pun terhenti. Elisha kini tampak hidup kembali. Tatapannya sudah tak kosong seperti semula, dan dia mulai menyadari keberadaan kawan-kawannya. Elisha mengambil kertas tisu dan menghapus air matanya.

“Ndra, aku...aku tidak menyangka kalau jadinya akan seperti ini...” rintih Elisha.

Ferry menatapnya dengan simpati, sementara Elisha masih menghapus air matanya.

“Jadi...kau sudah pernah merekomendasikan aku?” tanya Elisha kemudian.

“Iy-iya. Beberapa kali,” jawab Ferry akhirnya. “Tapi...mungkin keberuntunganmu belum datang.”

Elisha membalas tatapan Ferry. “Dan aku tidak sabar menunggunya...”

“Suatu saat kau akan memperolehnya, Elisha.” Ferry berkata sungguh-sungguh. “Aku yakin suatu saat keinginanmu akan tercapai.”

“Kau... kau yakin...?” tanya Elisha dengan pandangan berharap.

“Aku selalu yakin dengan kemampuanmu,” jawab Ferry. “Kau akan bisa meraihnya. Percayalah.”

Kali ini Elisha benar-benar tampak hidup. Senyum perlahan terkulum dari bibirnya yang kering dan pucat. “Kau... kau baik sekali, Ndra...”

***

Malam harinya, Ferry menelepon Indra di Semarang.

“Ndra, kau belum tahu kalau Elisha sahabatmu itu masuk rumah sakit?”

“Elisha masuk rumah sakit?” Indra benar-benar terkejut mendengarnya. “Kenapa?”

“Dia mencoba bunuh diri!” jawab Ferry.

“Kau serius?” Indra memastikan.

“Tadi sore aku menjenguknya dengan Rafli dan Nathan, juga Daniel.”

“Gila, kenapa tidak ada yang kasih kabar ke aku?”

“Mungkin teman-temanmu mengira kau sudah mendengarnya, Ndra.” Ferry menjawab. “Kudengar kau yang paling dekat dengannya?”

Indra terdiam sesaat, lalu berujar, “Dia...maksudku Elisha, tidak apa-apa, kan?”

“Dia kelihatannya masih sangat shock dan...”

Dan Ferry pun menjelaskan semuanya. Ferry juga menceritakan kunjungannya pada Doni, dan keheranan Doni yang menganggap dirinya lebih lembut dari Indra, dan Indra pun tertawa ngakak mendengarnya.

“Seharusnya kaukatakan saja kalau dia sudah akan mati,” kata Indra di sela-sela tawanya. “Biar dia kapok!”

Ferry juga menanyakan tentang Geovanni, dan Indra juga tidak tahu keadaan Geovanni saat ini. Ferry yang telah mendengarnya dari Nathan segera saja menceritakannya.

“Dia masuk rehabilitasi,” kata Ferry setelah menceritakan keadaan Geovanni yang ditemukan dalam keadaan sakaw di salah satu diskotik. 

“Dia memang sudah lama kecanduan putaw,” kata Indra kemudian.

“Dan kau...?” pancing Ferry yang sama sekali tak tahu apakah saudara kembarnya juga mengkonsumsi hal yang sama.

“Maksudmu?” Indra tak paham.

“Apakah kau juga seperti Geovanni?” tanya Ferry memastikan.

“Jangan ngawur!” jawab Indra. “Kau boleh yakin kalau aku sama sekali tidak pernah memakai barang-barang semacam itu, Fer. Dimas sangat wanti-wanti untuk yang satu itu, dan aku tidak berani melanggarnya.”

“Tapi soal cewek-cewek...?” pancing Ferry lagi.

Indra tertawa. “Untuk yang satu itu, kau tidak bisa salahkan aku, kan? Buktinya kau sendiri juga menyukainya!”

“Omong-omong soal cewek, Ndra, kau tahu kalau Rafli sudah kena?”

“Es-pe, maksudmu?” tanya Indra sambil tertawa. “Aku tidak akan heran!”

“Rafli bilang Doni sudah kena, dan sekarang giliran dirinya yang kena. Kata Rafli, bukan tidak mungkin kau atau Daniel yang akan dapat giliran selanjutnya.”

“Tidak mungkin!” jawab Indra yakin. “Dia kencan dengan sembarang cewek, Fer! Bahkan tiap malam! Aku malah pernah memergoki mereka kencan dengan cewek yang berbeda dalam satu malam. Jadi tidak aneh kalau mereka dapat es-pe atau yang semacamnya.”

“Aku jadi ingin tahu...” kata Ferry perlahan.

“Ingin tahu apa?” tanya Indra tak paham.

“Obat apa yang mereka pakai hingga bisa segila itu.”

“Oh, aku juga jadi ingin tahu, Fer,” kata Indra sambil tertawa. “Jangan lupa tanyakan pada mereka kalau kau bertemu lagi!”

“Sebaiknya kau jangan sampai tahu, Ndra.”

“Ke-kenapa?”

“Aku tidak ingin kau juga kena es-pe.”

“Sialan!” rutuk Indra.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 44)