
Saat menghadapi Doni yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur, Ferry merasa sangat kasihan. Dia dulu pernah bertemu Doni saat mengunjungi Indra di Jakarta yang kemudian memperkenalkan mereka. Ferry mendapati Doni yang dulu tampak segar sekaligus bugar dan penuh energi. Sekarang lelaki itu terbaring lemah dengan tubuh yang amat kurus dan wajah yang sangat pucat. Ferry pun mendekat kepadanya, dan menyentuh tangannya yang lemah.
“Ndra...” sapa Doni lemah saat merasakan tangan Ferry menyentuhnya.
Ferry hanya menatap Doni dengan simpati.
“Apakah...apakah kau yakin aku...akan mati...?” bisik Doni lagi dengan lemah.
Ferry segera memaksakan senyumnya. “Kau akan sehat kembali, Don. Tak lama lagi kau pasti akan keluar dari sini.”
“Tapi...kau sepertinya berpikiran lain...”
Ferry menggelengkan kepala dan menegaskan, “Aku yakin kau akan tetap hidup!”
“Tapi...tapi kau tak pernah...selembut ini...”
Oh sialan, rutuk Ferry dalam hati. Memangnya bagaimana perlakuan Indra terhadap sahabatnya???
***
Setelah mengunjungi Doni di bangsalnya, Daniel kemudian mengajak mereka untuk mampir ke bangsal Elisha.
“Elisha juga dirawat di sini?” tanya Nathan yang juga mengenal Elisha.
“Iya,” jawab Daniel sambil mengarahkan mereka untuk berbelok pada suatu tikungan rumah sakit itu.
“Memangnya Elisha sakit juga?” Kali ini Ferry yang bertanya, karena sepanjang yang ia ingat Indra tak pernah menceritakan hal itu.
“Kau belum dengar?” tanya Rafli dengan heran sambil menatap Ferry. “Dia kan mencoba bunuh diri setelah insiden di lokasi syuting itu.”
Ferry terdiam. Indra tak pernah menceritakan soal bunuh diri itu.
Rafli kemudian melanjutkan, “Kawan-kawannya serumah menemukan Elisha sudah hampir sekarat dalam kamarnya. Dia mencoba bunuh diri dengan mengiris nadi pergelangan tangannya.”
“Untung saja masih dapat tertolong,” lanjut Daniel.
Ketika mereka memasuki bangsal Elisha, gadis itu masih menunjukkan tanda-tanda shock dan kehancuran di wajahnya. Matanya tampak kosong, dan penampilannya sangat berantakan. Pergelangan tangannya terbalut perban. Ini dia perempuan yang terobsesi ingin jadi artis itu, batin Ferry dengan perasaan tak karuan sambil memandang ke arah Elisha yang terbaring di atas tempat tidur. Seorang perawat tampak menjaganya.
Ferry baru kali ini melihat Elisha, karenanya dia tak berani mendekat terlebih dulu. Daniel, Rafli dan Nathan kemudian mendekati Elisha dan mencoba mengajaknya berbicara. Namun Elisha hanya diam. Tatapan matanya masih kosong. Keberadaan mereka dalam kamarnya seolah tak terlihat. Mereka masih mencoba mengembalikan pikiran Elisha ke tempatnya agar menyadari kehadiran mereka, namun Elisha seperti tak menghiraukan. Kata-kata yang keluar dari bibir Rafli maupun Daniel dan Nathan seperti tak didengarnya.
Rafli lalu mendekati Ferry. “Ndra, cobalah kau yang dekati dia. Di antara kami semua, kaulah yang paling dekat dengannya.”
Maka Ferry pun kemudian mendekati Elisha, sementara kawan-kawannya menyingkir. Ferry duduk di pinggir ranjang, menatap wajah Elisha, dan berkata perlahan, “Elisha, ini aku... Indra.”
Selama beberapa saat Elisha tetap bergeming. Dia masih menatap hampa langit-langit kamar dan sama sekali tak menghiraukan Ferry di dekatnya. Ferry mencoba kembali. Elisha tetap tak berubah. Ferry mencoba lagi. Lalu Elisha mulai tampak mengalihkan pandangannya yang hampa dari langit-langit kamar. Ferry menyebut namanya lagi, dan Elisha kini memandang ke arah Ferry.
“Ini aku, Elisha. Indra, sahabatmu...” kata Ferry.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 43)