hati, heartIndra juga telah diberitahu kalau Anisa bekerja paruh waktu di sebuah dealer ponsel yang cukup besar di Semarang, dan Ferry pun telah menjelaskan bahwa dia biasa mengantarkan Anisa ke tempat kerjanya. Biasanya mereka berangkat langsung dari kampus bila pulang siang. Dan apabila tak masuk kuliah, Ferry akan menjemput Anisa di rumahnya untuk kemudian mengantarkan ke tempat kerjanya. Ferry telah menunjukkan tempat kerja Anisa kepada Indra sebelum dia berangkat ke Jakarta, dan Indra langsung hafal tempatnya, bahkan nama dealer itu. Indra juga tahu kalau Ferry biasa menjemput Anisa pulang pukul sembilan malam, jam tutupnya dealer ponsel tempat kerjanya.

Indra selalu mengingat untuk melakukan semua kewajiban itu. Dan saat melakukannya, diam-diam Indra merasa terharu. Ferry sangat mencintai Anisa, dan sangat memperhatikan kekasihnya. Indra belum pernah mengalami hubungan sekaligus kedekatan semacam itu. Selama ini hubungan yang ia jalin dengan perempuan-perempuan yang pernah masuk dalam hidupnya hanyalah hubungan berdasarkan have fun, tanpa cinta, tanpa kasih sayang yang murni, tanpa ketulusan seperti yang dirasakan Anisa dan Ferry.

Suatu malam saat menjemput Anisa pulang kerja, Indra harus menunggu beberapa saat karena Anisa masih sibuk melayani konsumen yang datang, dan dealer pun menunggu selesainya mereka sebelum menutup pintu. Indra duduk di salah satu kursi di sana, dan diam-diam memperhatikan kekasih saudara kembarnya.

Anisa sangat bersahaja, namun Indra merasakan suatu kecantikan yang inner dari dirinya. Saat larut dalam pikirannya sendiri, tanpa sadar Indra memperhatikan Anisa yang masih sibuk melayani para pembeli, dan Indra sama sekali tak tahu kalau Anisa menyadari dirinya tengah diperhatikan.

Diam-diam, Anisa tersenyum.

***

Di malam yang lain, saat Indra menjemput Anisa pulang dari tempat kerjanya, gerimis turun saat mereka tengah melaju di jalanan untuk pulang. Dalam hati Indra memaki. Ferry jarang menggunakan mobil dan biasa menggunakan sepeda motor untuk rutinitasnya dengan Anisa. Akibatnya, ketika turun hujan seperti ini, mereka pun harus kerepotan. Indra tahu alasannya. Ferry telah menjelaskan mengenai hal itu saat mereka berencana tukar tempat. Ferry sengaja menggunakan sepeda motor untuk aktivitasnya dengan Anisa sebagai bagian dari perhatian dan rasa sayangnya pada sang pacar. Anisa merasa risih jika harus diantar-jemput dengan mobil, dan baik Ferry maupun Indra memahami alasannya.

“Kita berteduh dulu, Fer,” kata Anisa saat gerimis yang turun semakin deras.

Indra pun mencari tempat yang bisa digunakan untuk berteduh, kemudian menepikan motor ke salah satu emperan toko yang telah tutup. Mereka berteduh di bawah atap trotoar, dan duduk bersisian di atas jok motor yang agak basah. Hujan turun semakin deras.

Mereka duduk diam di bawah guyuran hujan malam itu, memandangi mobil-mobil yang lewat, menatap jatuhnya air dari langit yang membentuk pijaran-pijaran kecil saat menimpa aspal. Indra mendapati Anisa menggigil di sebelahnya. Didorong nalurinya, Indra pun melepaskan jaketnya dan kemudian dikenakannya pada tubuh Anisa.

Anisa hanya diam dan membiarkan Indra memakaikan jaketnya yang cukup tebal ke tubuhnya, namun dia tetap merasa kedinginan. Jaket itu agak basah, dan hujan yang turun begitu lebat. Atap tempat mereka bernaung tak mampu melindungi dari tempias air yang turun, dan malam semakin larut. Anisa masih tampak menggigil.

Didorong nalurinya pula, Indra ingin sekali memeluk perempuan yang ada di sebelahnya itu, meredakan tubuhnya yang menggigil, namun Indra ingat telah terikat janji dengan Ferry untuk ‘tidak ngapa-ngapain dia’. Indra sama sekali tak tahu apakah memeluk pacar saudara kembarnya termasuk dalam pasal ‘ngapa-ngapain’ itu ataukah tidak, tapi Indra ragu-ragu untuk melakukannya.

Maka kemudian ia hanya bisa menatap Anisa dengan perasaan serba salah. Dan sekali lagi Indra merasakan kekaguman yang ia rasakan diam-diam dalam hatinya. Perempuan ini tetap saja tampak cantik meski rambutnya basah dan awut-awutan. Bedaknya sudah luntur. Polesan lipstiknya telah hilang. Tapi kecantikan yang terpancar dari dirinya tetap saja melekat. Saudara kembarnya itu benar-benar tahu memilih pacar!

“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Anisa dengan halus saat melihat Indra memperhatikannya.

“Oh, hm... kau cantik sekali.” Indra jujur mengatakannya.

Anisa menatap Indra, dan tersenyum. Indra menikmati tatapan itu.

Hujan masih deras mengguyur bumi.

***

Ferry baru memasukkan mobil ke dalam garasi ketika ponsel milik Indra yang dikantonginya berbunyi. Waktu masih cukup pagi, dan ia baru pulang dari sebuah ‘kencan impian’ dengan Vivit setelah sebelumnya mereka saling janjian untuk bertemu di salah satu hotel. Dan seperti yang dikatakan Indra kepadanya, Ferry benar-benar tak akan melupakannya. 

Ferry mengambil ponsel dari saku celananya, dan melihat nama Rafli di layar ponsel. Indra pernah mengenalkan Ferry dengan lelaki itu, dan Ferry pun masih mengingat wajah Rafli.

“Halo,” sapa Ferry menerima telepon itu.

“Ndra,” suara Rafli di ponselnya, “akhirnya aku kena juga!”

Ferry kontan bingung. “Kau...kau kena apa, Raf?”

“Es-pe, Ndra,” jawab Rafli dengan nada suara yang seolah menyatakan, ‘kenapa kau jadi telmi begitu?’.

“Es-pe?” Ferry mengulang.

“Aku kira itu cuma bakteri biasa. Tapi beberapa hari ini urine-ku tidak berubah juga. Aku benar-benar sudah kena!”

Ferry segera paham. Es-pe. SP. Siphilis. “Kau kena sifilis?” Ferry menegaskan. Meskipun Indra sudah menceritakan kepadanya tentang aktivitas kawannya yang satu ini, Ferry merasa masih kaget juga mendengar Rafli kena penyakit itu. Dan Ferry kemudian melakukan hal yang amat bodoh saat menanyakan, “Memangnya apa yang kaulakukan, Raf?”

“Ya ampun, Ndra! Kau kemana saja selama ini?!” Rafli setengah berteriak. “Tiap malam Doni tidak pernah absen ngajak aku kursus ke diskotik, dan selalu saja ada cewek-cewek yang gatal mengajakku kencan! Sekarang Doni sudah kena. Aku juga sudah kena. Pasti tidak lama lagi kau atau Daniel atau Nathan juga akan kena, Ndra. Hati-hati sajalah.”

Ferry bergidik tiba-tiba. Doni kena. Rafli kena. Apakah Indra juga pernah kena penyakit itu?

Ketika Rafli telah mematikan ponselnya, buru-buru Ferry berlari ke kamar mandi. Dia segera bernapas dengan lega saat memperhatikan tak ada yang berubah dengan urine-nya. Ini cuma sekali, batin Ferry sambil membayangkan Vivit yang semalam berkencan dengannya. Aku tak akan kena secepat itu!

***

Hari-hari berlalu, dan Indra maupun Ferry semakin menikmati permainan mereka. Sampai sejauh ini, tak ada yang terlalu curiga atas bergantinya tempat mereka, meski beberapa kali keduanya harus menghadapi saat-saat kritis yang sama sekali tak mereka pahami ketika menghadapi orang-orang tertentu, atau saat-saat tertentu. Namun baik Indra ataupun Ferry selalu berhasil melewatinya.

Permainan itu makin mendebarkan, sekaligus makin mengasyikkan. Ferry menikmati kehidupan barunya sebagai artis. Memperoleh perhatian kemana pun pergi, saling sapa dengan artis-artis populer saat tanpa sengaja bertemu di kafe, di swalayan ataupun di diskotik. Saling kirim SMS dengan nama-nama yang biasanya hanya ia baca di tabloid atau majalah, juga menghadiri pesta-pesta selebriti, dan...kencan-kencan private dengan beberapa perempuan cantik.

Sementara Indra juga menikmati kehidupannya sebagai Ferry. Ia menjalani hidup yang biasa—menjadi sosok sederhana, berpacaran dengan seorang perempuan yang bersahaja, dan menikmati hari-hari di kampusnya sebagai salah satu aktivis mahasiswa. Indra menyukai kawan-kawan Ferry sebagaimana saudaranya itu menyukai mereka, dan Indra pun memberikan perhatian yang sama besarnya kepada Anisa, sebagaimana Ferry biasa memberikannya. Beberapa kali Anisa sempat memperhatikan perubahan yang terjadi pada sosok yang ada di sisinya itu, namun Indra kini selalu dapat mengantisipasinya.

Kedua saudara kembar itu pun makin larut dalam permainan itu, dan mereka semakin menikmatinya.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 42)