
“Fer, nilai ujian keluar hari ini. Kita ke kampus ya,” begitu bunyi SMS itu.
Maka Indra pun datang ke rumah Anisa, dan mereka lalu berangkat ke kampus dengan sepeda motor yang biasa digunakan Ferry. Anisa sama sekali tak menyadari bahwa sosok yang menjemputnya itu bukanlah kekasihnya yang asli, dan dia menyambutnya dengan senyum manis seperti biasa. Anisa pun tanpa ragu melingkarkan lengannya ke pinggang Indra saat mereka melaju menuju kampus.
“Indra sudah pulang, Fer?” tanya Anisa, sementara motor yang mereka kendarai melaju menuju kampus.
“Sudah,” jawab Indra. “Dua hari yang lalu.”
“Kalian benar-benar mirip sekali, Fer,” kata Anisa lagi. “Aku sama sekali tak menyangka kalau kalian lebih mirip daripada saat aku melihat Indra di televisi.”
Indra hanya diam, tak tahu harus bagaimana menanggapinya.
“Oh ya, Fer, kau sudah bilang ke dia mengenai Hilda itu?” tanya Anisa lagi.
Kali ini Indra menahan senyum. “Iya, dia kaget sekali waktu aku bilang itu. Dia pikir aku yang nonton acara infotainment itu.”
“Jadi dia benar-benar kencan dengan cewek itu?”
“Sepertinya sih iya,” jawab Indra pasrah, sambil dalam hati berharap Ferry di Jakarta tidak kepergok reporter infotainment.
“Untung aku tidak pacaran sama dia,” canda Anisa sambil mencubit pinggang Indra.
Indra sedikit menggeliat merasakan cubitan sayang itu, dan menjawab, “Padahal aku ingin bisa seperti dia lho, Nis.”
Anisa tertawa. “Aku yakin kau tidak akan melakukannya.”
Sesampai di kampus, Indra melihat sebagian besar mahasiswa datang hari itu untuk melihat hasil nilai ujian mereka. Mahasiswa dan mahasiswi itu tampak berdesak-desakan di depan papan yang disediakan untuk menempelkan daftar hasil nilai ujian mereka dari seluruh mata kuliah semester ini.
Indra yang lama tidak menikmati suasana kampus seperti itu jadi merasa bergairah saat menemani Anisa berdesak-desakan dengan para mahasiswa yang lain di depan papan-papan nilai itu. Indra tersenyum ketika melihat hasil nilai Ferry terhitung bagus. Itu membuatnya merasa cukup nyaman.
“Hei, Fer.” Rizal menepuk pundak Indra. “Masalahmu sudah selesai?”
Indra menoleh, “Masalah yang mana?” tanyanya dengan bingung.
“Masalah mana lagi? Itu, kasus dengan rektorat,” jawab Rizal dengan ekspresi seolah ingin mengatakan, ‘memangnya kau punya masalah apa lagi?’.
Indra buru-buru tersenyum dan menjawab, “Oh, itu. Ya belum jelas, sih. Mereka belum menghubungi kami lagi.”
Rizal terlihat puas dengan jawaban itu dan mengalihkan pertanyaan lain. “Saudara kembarmu sudah pulang?”
Indra menjawab pasti, “Sudah, dua hari yang lalu.”
Kemudian kawan-kawan yang lain berdatangan, dan mereka pun bercakap-cakap seputar hasil nilai ujian dan persoalan-persoalan hangat menyangkut kampus. Indra mengenal sebagian dari mereka, dan telah menerka beberapa yang lain yang telah diceritakan Ferry. Ternyata tak sesulit yang pernah dibayangkannya, dan Indra pun segera dapat beradaptasi dengan mereka. Sejauh ini, tak ada dari mereka yang tampak curiga.
Anisa mengajaknya ke kantin, dan Indra pun menuruti.
Di kantin, mereka memesan soto ayam, dan Indra meminta es kelapa muda, sesuatu yang jarang—bahkan tidak pernah—dilakukan Ferry. Hal itu segera saja menarik perhatian Anisa.
“Tumben kau pesan es kelapa muda, Fer,” kata Anisa dengan heran. “Biasanya kau suka teh hangat setelah makan soto.”
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 40)