heart, hatiSetelah Ferry menjelaskan semuanya dengan gamblang, Indra lalu bertanya, “Aku tentunya harus sering bersama Anisa—pacarmu. Apel ke rumahnya, dan mengantarkan kemana pun dia membutuhkan. Kau tidak keberatan, kan?”

“Asal kau tidak ngapa-ngapain dia, oke?” kata Ferry sungguh-sungguh.

Indra tertawa. “Ini benar-benar tidak adil. Kau dapat Citra, Hilda, Vivit, Ririn...”

“Itu bagian dari kesepakatan permainan ini,” potong Ferry.

“Oke, oke. Sepakat!” Indra memastikan.

Dan Ferry pun percaya.

Setelah membeberkan semua dalam hidup mereka masing-masing, dan telah sangat jelas memahami serta merasa sudah tak ada lagi yang terlewatkan untuk diketahui, kedua saudara kembar itu pun mulai menguap letih. Wajah-wajah yang sejak tadi penuh semangat itu sekarang menampakkan tanda-tanda mengantuk.

“Kau yakin sudah tidak ada yang perlu kauceritakan?” tanya Ferry memastikan.

Indra menggeleng. “Dan kau?”

Ferry menguap sebelum menjawab, “Aku sudah menceritakan semuanya yang perlu kauketahui.”

Mereka berdua terdiam, merasa yakin dengan yang akan mereka lakukan, namun rasanya ada sesuatu yang masih mengganjal dalam pikiran mereka. Ferry yang kemudian tersadar lebih dulu.

“Ndra, kita lupa. Mama pasti tetap akan mengenali kita!”

Indra segera merespons, “Aku tahu. Tapi kalau Mama menanyakan hal itu, katakan saja kalau kita ingin main-main sebentar seperti dulu. Aku yakin Mama tidak akan terlalu merisaukan. Kita kan tidak selamanya bertukar tempat.”

“Kau yang akan tinggal di rumah, Ndra. Kau yang akan menghadapinya.” Ferry mengingatkan.

“Iya, dan aku yakin bisa menjelaskan pada Mama kalau ini hanya sekadar main-main. Aku yakin Mama tidak akan mempermasalahkan.”

“Juga tidak akan keberatan,” harap Ferry.

Kemudian mereka pun tertidur. Indra tak sempat pindah ke kamarnya sendiri.

***

Ketika keberadaan Indra di Semarang genap dua belas hari, permainan itu pun dilakukan. Indra dan Ferry menganggap waktu dua minggu cukup sebagai waktu liburan Indra di Semarang, dan Ferry pun berangkat ke Jakarta untuk menggantikan posisi Indra. Sementara Indra tetap tinggal di Semarang, menempati posisi Ferry.

Seperti yang telah mereka perkirakan sejak semula, ibu mereka tahu apa yang mereka lakukan dan segera saja menanyakan hal itu.

“Apa maksudnya ini?” tanya Silvia saat melihat Ferry memasuki mobil Indra, sementara Indra melepas kepergian Ferry.

Indra mencoba tersenyum pada ibunya dan menjelaskan, “Biasa, Ma. Kami ingin main tukar tempat seperti dulu.”

“Kalian bercanda, kan?” tanya Silvia tak percaya.

“Benar, Ma,” jawab Indra menjelaskan, “Ferry katanya ingin merasakan kehidupan saya. Tapi ini tidak lama, kok. Cuma untuk satu bulan mendatang. Ferry akan pulang kembali kesini, dan saya akan berangkat lagi ke Jakarta.”

Silvia menatap Indra dengan tatapan khawatir. “Benar cuma satu bulan?”

“Sungguh, Ma. Tanya saja sama Ferry. Lagi pula Ferry kan tidak bisa akting. Satu bulan mendatang saya pasti dapat jadwal syuting lagi dan harus kembali ke Jakarta.”

Setelah terdiam sesaat, Silvia bergumam, “Mama merasa khawatir, Ndra...”

“Tidak perlu khawatir, Ma. Ini cuma permainan kecil seperti yang biasa kami lakukan dulu, dan kami sudah biasa melakukannya...” Indra menatap ibunya dengan pandangan memohon, dan Silvia pun tak lagi mempersoalkannya.

Dan permainan itu pun benar-benar dimulai.

Ferry berangkat ke Jakarta dengan membawa mobil Indra bersama seluruh identitasnya, dan Indra tinggal di Semarang menggantikan tempat Ferry dengan seluruh identitas saudara kembarnya. Sebuah permainan yang mengasyikkan sekaligus mendebarkan yang telah mereka bahas selama beberapa hari, dan mereka pikirkan dengan matang semalam suntuk—sebuah rencana yang sempurna.

Tetapi... langit tertawa.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 39)