
Kalau Indra pernah dipergoki sedang keluar dari kamar hotel bersama Hilda, tentunya perempuan-perempuan yang lain itu juga pernah masuk kamar dengan Indra, hanya saja tidak ada reporter infotainment yang memergoki mereka. Ferry makin merasa iri dengan keberuntungan saudara kembarnya.
“Tapi aku sudah jenuh dengan yang seperti itu, Fer,” kata Indra akhirnya.
“Kau jenuh berkencan dengan cewek-cewek cantik itu?” Ferry seperti ingin memastikan dia tidak salah paham.
“Bukan cuma soal kencan dengan cewek-cewek itu.” Indra menjawab. “Aku juga terkadang jenuh dengan pesta-pesta dan segala macam yang seperti itu. Pada mulanya sih aku asyik-asyik saja, dan suer, aku sangat menikmatinya. Tapi senikmat apapun sesuatu, lama-lama kita akan sampai juga pada titik kejenuhan, kan?”
Mereka terdiam, menikmati kebersamaan dan kedekatan seperti pada masa-masa yang lalu. Indra kemudian menuangkan air dingin dalam botol ke dalam gelasnya, lalu meneguknya.
“Aku malah kadang-kadang merindukan kembali hidup seperti dulu, Fer,” kata Indra setelah meletakkan gelasnya kembali di atas meja. “Seperti kehidupanmu sekarang. Hidup di Semarang. Kuliah di sini, jadi orang biasa, dan pacaran dengan cewek yang sangat baik seperti Anisa.”
“Tapi kau dulu tampak senang sekali, Ndra.” Ferry mengingatkan bagaimana dulu ketika pertama kali akan syuting sinetron pertamanya, Indra langsung menelepon ke rumah dengan kegembiraan meluap-luap hingga seluruh keluarganya menyangkanya telah menemukan harta karun Ali Baba.
“Siapapun akan senang kalau tahu akan jadi artis, Fer,” jawab Indra. “Semua orang bermimpi ingin masuk sinetron, muncul di televisi. Begitu pula aku waktu itu. Aku juga punya pikiran dan perasaan yang sama seperti anak-anak muda yang lainnya.”
Ferry kemudian mengalihkan topik pembicaraan. “Kau dulu sering cerita tentang salah satu temanmu... siapa tuh, hm... Elisha?”
Indra mengangguk.
“Bagaimana kabarnya sekarang?” tanya Ferry. “Dia juga sudah jadi artis?”
Indra menggeleng. “Aku menyayangkan dirinya. Dia sangat terobsesi ingin main sinetron, tapi sepertinya harus menempuh jalan yang lebih panjang untuk meraih keinginannya. Aku tetap merasa berhutang budi kepadanya karena dialah yang dulu mengajakku ke tempat kasting itu hingga jadi seperti sekarang. Aku pun sudah berkali-kali mencoba merekomendasikan dia untuk sinetronku. Tapi tidak pernah berhasil.”
“Dia tetap belum jadi artis?”
“Hampir. Mungkin karena tidak sabar, dia mengambil jalan pintas. Dia menemui seorang produser dan...hm, mereka mungkin saling bertransaksi secara pribadi, dan produser itu membuka pintu untuknya, tapi... usahanya tetap gagal.”
“Kok bisa?” tanya Ferry dengan heran.
Indra pun kemudian bercerita tentang insiden mengamuknya Bobby di lokasi syuting yang berbuntut dengan keluarnya sutradara itu dari Matra Cinema. Sementara Ferry dengan khusyuk mendengarkan semua cerita itu. Setiap kali Indra pulang ke rumah, mereka selalu saling bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing, dan Ferry selalu suka mendengarkan kisah-kisah Indra menyangkut syuting dan segala macam aktivitas keartisannya.
Ferry juga sudah berkali-kali mendengar tentang Big Bobby, sutradara yang aneh tapi jenius itu, tentang Hasnan Wibowo sang produser, juga tentang kawan-kawan Indra—Doni, Rafli, Daniel, dan lainnya yang pecandu dugem, tentang Geovanni yang sudah addict dengan putaw, tentang jumpa pers, pesta-pesta selebriti, juga acara-acara private sesama artis. Dan Ferry tak pernah bosan mendengarnya, sebagaimana Indra pun selalu senang menceritakannya.
“Sekarang giliranmu, Fer,” kata Indra kemudian setelah menceritakan semua aktivitasnya selama ini. “Ceritakan kehidupanmu di sini.”
Ferry pun menceritakannya.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 36)