
Sekali lagi ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan diskotik itu, namun kali ini pandangan matanya terasa mulai mengabur. Geovanni mulai pasrah. Tak ada orang yang dikenalnya. Tak ada yang mendekatinya. Tak ada barang yang dibutuhkannya. Tak lama lagi ia akan sakaw. Dan infotainment akan punya satu lagi berita baru.
***
Di sebuah convention hall, lebih dari dua ribu orang muda-mudi memadati ruangan untuk menonton konser sebuah group band yang memukau. Beberapa orang terlihat sibuk dengan kamera yang berjalan memutari ruangan, sementara sebuah alat penghubung menjulur tak terlihat dari lokasi acara ke sebuah stasiun siaran, dan acara itu pun disiarkan secara live di televisi.
Jutaan orang menyaksikannya di rumah-rumah mereka.
***
Cukup jauh dari lokasi acara konser yang semarak, di salah satu kamar mandi hotel, Rafli tercengang memperhatikan sesuatu yang keluar dari tubuhnya. Seorang perempuan teman kencannya masih terbaring di atas tempat tidur dalam kamar hotel yang disewanya, dan sekarang Rafli mendapati kenyataan yang tak pernah dibayangkannya. Air seninya tak lagi bening. Ada sesuatu yang tampak seperti darah. Dan juga nanah.
Rafli tahu akhirnya ia juga kena.
***
Di sebuah kamar mandi pula, di dalam rumahnya sendiri yang mewah, Hilda tengah tersenyum dengan senang, dengan hati yang tenang. Ia memandangi alat tes kehamilan yang barusan dicobanya. Negatif. Sekali lagi diperhatikannya alat tes kehamilan yang praktis itu. Dan tetap negatif.
Sekali lagi Hilda tersenyum. Itu tak boleh terjadi, pikirnya. Ia buang alat tes itu ke dalam kloset yang kemudian mengalir bersama gemuruhnya air. Sekali lagi bibirnya tersenyum. Bayangannya menari-nari. Indra, Leonel, Jonathan, Deddy, dan...oh ya, juga Onassis. Beberapa nama lain juga pernah masuk dalam koleksinya, namun Hilda tak menyimpannya terlalu lama. Selalu ada sosok-sosok baru yang menggairahkan. Dan ia merasa bangga pernah memiliki kencan dengan artis-artis populer itu.
Hilda beranjak dari kamar mandi setelah menyiram kedua kakinya dengan air. Petualangannya belum berakhir.
***
Tiga ratus empat kilometer dari Jakarta, di kamar rumahnya di Semarang, Ferry menerima telepon dari saudara kembarnya.
“Jadi kau benar-benar akan pulang ke Semarang, nih?” tanya Ferry melalui telepon. “Tidak sibuk syuting lagi?”
“Suer, kali ini aku benar-benar akan pulang, Fer. Ada kejadian buruk di sini. Jadwal syutingku break, dan aku sedang tidak minat untuk main di sinetron lain. Aku sudah kangen sama kalian,” suara Indra di telepon.
“Kau tahu kalau Mama sering mengkhawatirkanmu?”
Indra tertawa. “Ya, pasti soal cewek-cewek itu, kan?”
“Kau sudah jadi Don Juan yang sukses, Ndra,” ledek Ferry dengan tawanya.
“Jangan ngawur! Mama terlalu banyak nonton infotainment.”
“Pasti menyenangkan sekali menjalani hidup sepertimu.” Ferry masih mencoba meledeknya.
“Kau pasti terkejut kalau menghadapi kenyataannya, Fer,” balas Indra. “Oh ya, bagaimana kabar Anisa, pacarmu? Kalian masih berhubungan, kan?”
“Kami baik-baik saja,” kata Ferry, “dan bagaimana kabar Citra?”
“Oh, kabarnya baik,” jawab Indra.
“Vivit?”
“Dia juga baik.”
“Ririn?”
“Cukup, Fer. Kau juga terlalu banyak nonton infotainment!”
Ferry tertawa terbahak-bahak.
Indra kemudian menutup, “Oke Fer, mungkin besok atau lusa aku sudah sampai di Semarang. Sampai bertemu di rumah.”
Ferry pun meletakkan handel teleponnya.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 33)