Hati yang MemilihFerry menjawab dengan tenang, “Kami sudah mencoba menghubungi orang-orang dalam universitas yang terlibat dalam proyek itu, tapi mereka tidak mau memberikan komentar atau jawaban.”

“Seharusnya kalian juga memberikan space untuk orang-orang itu agar berita ini lebih berimbang!” Pak Mirwan masih ngotot.

“Kami sudah memberikan kesempatan untuk itu, Pak. Tapi berkali-kali kami temui dan hubungi, selalu saja tak ada jawaban, tak ada komentar. Ada beberapa jawaban, tapi terlalu kasar, jadi kami pikir tidak etis jika dimuat.”

Pak Mirwan menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, menatap keempat mahasiswa di depannya. “Apa sih yang kalian ketahui mengenai proyek itu?!” tanyanya kemudian dengan sinis.

“Tak jauh beda dengan apa yang juga diketahui Bapak,” jawab Ferry dengan nekat.

“Kalian mencari perkara!” sembur Pak Mirwan lagi. “Ini proyek negara, dan seluruh urusannya dilakukan secara sah dan legal—ini bukan urusan main-main! Proyek ini diadakan untuk membangun sarana pendidikan yang lebih layak untuk kalian, dan tujuannya semata-mata hanya untuk meningkatkan kualitas pendidikan untuk mahasiswa seperti kalian!”

Keempat mahasiswa itu hanya diam dan mendengarkan.

Pak Mirwan kembali menyembur, “Jadi, apa motivasi kalian menuliskan berita seperti ini?!”

Ferry kembali menjawab sambil menahan dirinya untuk tetap tenang. “Seperti yang sudah saya katakan tadi, Pak. Kami tak punya motivasi apa-apa selain hanya mengungkapkan fakta.”

Pak Mirwan berteriak gusar, “Tetapi fakta yang kalian beritakan ini sama sekali tidak benar!”

“Kami memperolehnya dari sumber-sumber yang dapat dipercaya.” Ferry menegaskan.

Pak Mirwan mengambil majalah di hadapannya, kemudian membuka halaman yang telah ditandainya, dan menunjuk pada bagian-bagian tertentu yang telah diberinya tanda dengan spidol merah. Spidol itu menandai kutipan-kutipan pernyataan dari beberapa narasumber yang ditulis secara anonim, namun mereka sama-sama tahu kalau itu adalah sumber dari dalam universitas sendiri.

“Sekarang katakan pada saya, siapa orang-orang yang telah memberikan pernyataan-pernyataan tak berdasar seperti ini,” kata Pak Mirwan dengan suara yang lebih rendah.

“Saya tidak bisa melakukannya,” jawab Ferry dengan pasti.

Pak Mirwan kembali meledak. “Dengar, ini proyek besar dan menyangkut urusan negara. Persoalan ini juga mempertaruhkan nama baik universitas kita! Kalau memang ada orang-orang dari dalam universitas sendiri yang mencoba merusakkan nama universitas ini, pihak universitas akan memecatnya demi nama baik universitas. Jadi katakan siapa orang-orang ini!”

“Saya tidak bisa melakukannya,” ulang Ferry dengan kepastian yang sama.

“Kalian harus memahami bahwa yang telah kalian lakukan dengan berita ini sangat-sangat mencemarkan nama baik universitas, dan pihak rektorat merasa sangat keberatan dengan hal ini!”

“Pihak rektorat bisa memberikan hak jawab yang akan kami muat di edisi mendatang,” jawab Ferry.

Pak Mirwan seperti kehabisan kata-kata. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan duduk bersandar di kursinya kembali, menarik napas dan meredakan tensi darahnya yang meninggi. Tetapi wajahnya masih memerah dan urat-urat di pelipisnya masih berdenyut. Kali ini, Pak Mirwan mencoba menggunakan taktik lain. Ia menurunkan nada suaranya.

“Sebenarnya ini bukan urusan saya pribadi,” ujar Pak Mirwan kemudian dengan suara lebih kalem. “Saya sengaja mengundang kalian kemari dan membicarakan semua persoalan ini karena menyangkut nama baik universitas kita bersama. Apa yang telah kalian lakukan dengan berita di majalah itu adalah bagian dari aktivitas mahasiswa, dan saya bertanggung jawab menangani urusan mahasiswa. Anda semua bisa mengerti?”

Ferry dan tiga kawannya mengangguk.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 29)