Hati yang MemilihPak Agung, asisten Purek III, muncul di depan pintu ruang UKM. Para mahasiswa itu pun tahu saat eksekusi telah tiba.

“Pak Mirwan mengharapkan kedatangan kalian,” kata Pak Agung dengan sopan.  “Sekarang juga.”

Ferry, Wawan, Sofyan dan Neni pun bangkit, sementara yang lain masih duduk dan menunggu intruksi.

“Kalian tunggu dulu di sini,” kata Ferry kepada kawan-kawannya yang masih duduk. “Jika kami memerlukan, kalian akan dihubungi.”

Teman-temannya pun mengangguk, dan Pak Agung lalu menggiring empat mahasiswa buronan atasannya itu menjauh dari markas mereka. Mereka melangkah meninggalkan komplek gedung UKM dan menuju gedung rektorat.

“Tahu tidak, kalian benar-benar nekat,” kata Pak Agung sambil tersenyum pada Ferry dan kawan-kawannya. Dia merasa tak punya kaitan apa-apa dengan kasus yang sedang dipermasalahkan itu, dan dia pun merasa cukup nyaman untuk membicarakannya.

Ferry dan tiga kawannya hanya senyum-senyum mendengar komentar itu.

“Kalian mau membocorkan berita apa lagi yang kira-kira akan ditampilkan di edisi berikutnya?” kata Pak Agung lagi, masih dengan senyum.

“Mungkin lebih mengerikan dari yang kemarin,” canda Wawan yang disambut senyum lebar kawan-kawannya.

“Oh, sebaiknya jangan,” kata Pak Agung. “Kalian sudah hampir semester akhir, dan tidak lama lagi wisuda. Sayang kalau sampai di-DO.”

“Memangnya ada kemungkinan DO?” tanya Ferry dengan santai.

“Kemungkinan semacam itu selalu ada, kan? Kalian tahu sendiri, pihak rektorat sangat kebakaran jenggot dengan ulah kalian.”

“Juga Purek Tiga,” sela Neni.

Pak Agung menjawab dengan netral, “Kalau Pak Mirwan sih cuma ditugaskan untuk mengurusi dan menyelesaikannya bersama kalian. Bagaimana pun, ini kan menyangkut mahasiswa.”

“Yah, siapa tahu...?” Sofyan mengangkat bahu.

Mereka memasuki gedung rektorat, dan Pak Agung terus menggiring mereka menuju lantai atas menuju ruang kantor atasannya. Dia tak mau disemprot lagi karena kehilangan anak-anak itu.

Saat sampai di depan pintu ruang kantor Purek III, Pak Agung pun segera melapor dengan bangga.

“Mereka sudah datang, Pak,” katanya pada Pak Mirwan yang masih duduk menunggu di kantornya.

Pak Mirwan mengangguk, lalu meminta Ferry dan teman-temannya untuk masuk ke kantornya.

Begitu mereka semua telah masuk dan melihat pintu kantor atasannya tertutup perlahan-lahan, Pak Agung pun menghela napas lega. Ia beranjak dari sana dan menuju ruang kantornya kembali. Tugas beratnya telah selesai. Ia tak peduli apa yang tak lama lagi akan terjadi.

***

Di waktu yang sama, Anisa duduk sendirian di salah satu sudut kantin kampus dan menikmati segelas teh hangat setelah tadi menghabiskan dua potong lumpia dan menelan pilnya. Anisa tahu kalau Ferry saat ini sedang berada di gedung rektorat, tengah mengurus masalahnya menyangkut berita di majalah yang dipimpinnya.

Anisa sama sekali tak memahami apa sebenarnya yang diinginkan kekasihnya dengan membuat perkara menyangkut berita yang menghebohkan itu. Ketika pertama kali Ferry menceritakan rencana akan dimuatnya berita itu di majalah kampus mereka, Anisa sudah merasa kalau akibatnya akan seperti ini. Ferry telah menceritakan kepadanya secara detail sebelum berita itu naik cetak dan majalah itu terbit. Dan Anisa pun sudah memohon kepada Ferry untuk membatalkan niatnya.

“Itu terlalu berbahaya, Fer,” katanya waktu itu. “Kau tahu sendiri kalau ini menyangkut siapa...”

“Harus ada yang melakukannya, Nis,” jawab Ferry dengan yakin.

“Tapi tidak perlu kau yang melakukannya, kan?”

Ferry tersenyum. “Kau lupa kalau aku pemimpin majalah kampusmu? Kalau bukan aku yang melakukannya, lalu siapa lagi?”

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 27)