Hati yang MemilihIndra tahu Bobby percaya kepadanya. Tetapi kemudian Bobby mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tak disangkanya, “Kawanmu itu telah menjual dirinya, Nak. Dia menjual dirinya untuk sesuatu yang sebenarnya dapat ia peroleh kalau saja mau bersabar dan belajar! Bosmu itu mau membelinya, tapi aku tak sudi membelinya!”

Indra membeku. Dan sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, Bobby telah berlalu meninggalkannya. Indra hanya dapat menatap hampa kepergian Bobby yang semakin menjauh menuju mobilnya.

Dan ketika Indra berbalik, dia melihat Elisha tengah menangis sambil mendekap naskah skenario di dadanya.

***

Dengan jari-jari bergetar menahan marah, Pak Mirwan mengangkat telepon di mejanya dan menghubungi asistennya di lantai bawah. Sudah lima kali atasannya menghubunginya dan menanyakan persoalan menyangkut bocah-bocah nakal yang menulis berita di majalah itu. Pak Mirwan sudah tak tahan. Dia harus segera menyelesaikan persoalan ini, dan bocah-bocah itu sudah harus dibereskan!

“Pastikan mereka benar-benar masuk ke ruang kantor saya,” kata Pak Mirwan di telepon.

“Baik, Pak,” jawab asistennya. “Saya akan segera mengantarkan mereka menemui Bapak.”

“Secepatnya, Pak Agung,” kata Pak Mirwan lagi memastikan.

“Iya, Pak.”

Pak Agung, sang asisten, segera melesat keluar dari ruang kantornya dan terbang ke komplek gedung UKM tempat anak-anak yang menjadi ‘buronan nomor satu’ bagi atasannya itu. Pak Agung sangat memahami apa yang tengah terjadi, dan ia pun tahu atasannya sangat gusar dan tertekan dengan laporan berita yang ditulis di majalah itu.

Ia sendiri tak tahu atasannya ikut terlibat dalam kasus itu ataukah tidak, tapi Pak Agung tahu pasti kalau atasannya tentu menjadi orang terdepan yang akan berhadapan dengan anak-anak pembuat perkara itu karena jabatannya sebagai Purek III. Mungkin atasannya memang ikut memakan nangkanya, tapi bisa juga hanya terkena getahnya. Yang jelas, dirinya sendiri—sang asisten yang tak tahu apa-apa—benar-benar hanya terkena getahnya, karena sama sekali tak tahu-menahu mengenai proyek terkutuk itu, namun sekarang jadi ikut sibuk.

Di gedung UKM yang terpisah dengan komplek gedung kampus, Pak Agung memutar jalan melewati deretan beberapa ruang UKM yang lain, dan segera menuju ke ruang UKM Pers, sarang bocah-bocah yang mengurusi penerbitan majalah NURANI yang bikin heboh itu.

***

Di ruang UKM Pers, para mahasiswa tengah berkumpul membicarakan langkah selanjutnya untuk menindaklanjuti kasus mereka dengan pihak rektorat. Mereka menyadari sepenuhnya, bahwa senakal dan seliar apapun, nasib mereka kini berada di ujung tanduk. Korporasi mereka, yakni penerbitan majalah NURANI, sepenuhnya dibiayai oleh dana UKM yang dikucurkan oleh BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) di kampus mereka. BEM memperoleh dana untuk UKM-UKM dari dana kemahasiswaan yang dikumpulkan pihak akademik yang berhubungan intim dengan pihak rektorat.

Ini seperti jeruk makan jeruk. Rektorat ikut membantu membiayai penerbitan majalah itu, dan majalah itu terbit dengan berita yang menghantam pihak rektorat. SK penerbitan majalah itu juga dikeluarkan pihak rektorat, dan anak-anak itu tahu betul bahwa rektorat, dengan tangan kekuasaannya, dapat mencabut kembali SK penerbitannya. Majalah yang mereka sayangi bisa dibekukan. Atau, kalau mau yang lebih parah, dibredel. Dan mereka yang selama ini membidani penerbitan majalah itu bisa diskors, dipaksa cuti, atau kalau mau yang lebih parah, dipecat dari kampus.

Tetapi sejak semula mereka telah memprediksikan hal-hal yang mengerikan itu. Ketika memutuskan untuk menurunkan laporan itu menjadi berita utama di majalah, mereka sudah siap menghadapi kenyataan semacam itu. Jika harus menghadapinya sekarang, mereka hanya perlu melakukan persiapan yang lebih matang, serta argumentasi yang lebih meyakinkan. Jika nasib mereka sekarang berada di ujung tanduk, mereka pun tahu nasib rektorat juga berada di ujung tanduk yang sama.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 26)