
Namun dia tidak sembarangan memberikan kesempatan yang istimewa semacam itu. Hanya perempuan-perempuan tertentu, yang menurut feeling-nya benar-benar layak masuk dalam sinetronnya. Dan perempuan yang ada dalam foto-foto ini telah memberikan apa yang diinginkannya, karenanya dia pun memberikan apa yang diinginkan perempuan itu. Suatu timbal-balik yang menyenangkan, suatu transaksi yang sah. Masing-masing tidak ada yang merasa dirugikan, dan Hasnan Wibowo menikmatinya.
Pintu kantornya diketuk, dan sekretarisnya mengatakan Bobby ingin bertemu. Hasnan Wibowo mengangguk, kemudian memasukkan foto-foto di tangannya ke dalam laci mejanya.
Bobby masuk dengan ekspresi wajah yang sama seperti beberapa waktu yang lalu, dan memegang memo yang sama seperti beberapa waktu yang lalu. Hasnan Wibowo pun telah siap dengan jawabannya seperti beberapa waktu yang lalu.
“Ada apa lagi, Bob?” sapa produser itu dengan tenang.
Bobby duduk, lalu meletakkan memo itu di atas meja. “Sejujurnya, saya sudah tak bisa menangani hal yang semacam ini, Bos.”
Hasnan Wibowo masih menunjukkan ketenangannya. “Maksudnya?”
Bobby meletakkan telunjuknya di kertas memo dan menjawab, “Saya tidak tahu siapa perempuan ini, dan seperti yang sudah-sudah, kehadiran seseorang yang secara tiba-tiba dan tanpa melalui kasting seperti ini hanya membuat proses produksi jadi sangat terhambat.”
“Dia sudah mengikuti kasting, Bob.”
“Oh ya? Saya belum pernah melihatnya.”
Hasnan Wibowo menarik laci mejanya dan mengambil beberapa lembar foto. Diserahkannya lembaran foto itu pada Bobby yang memeriksanya dengan acuh tak acuh. Hanya sekali pandang, Bobby langsung mengenali perempuan dalam foto itu. Jadi rupanya benar perempuan itu.
“Kau mengenalinya, kan?” tanya Hasnan Wibowo. “Dia telah mengikuti beberapa kali kasting.”
“Ya, dan tak pernah lulus,” jawab Bobby.
“Itu karena kau tak pernah memberinya kesempatan, Bob.”
“Kasting itu sudah merupakan kesempatan untuknya, Bos, dan dia tidak menggunakan kesempatannya dengan baik.”
Hasnan Wibowo menyandarkan tubuhnya pada kursinya yang besar, kemudian menatap Bobby dan menyatakan, “Bob, mari kita hentikan perdebatan ini, dan mari kita beri kesempatan sekali lagi pada gadis ini untuk menunjukkan bahwa dia mampu.”
Bobby mendesah dan menggelengkan kepalanya. “Saya tidak bisa, Bos.”
“Tapi nyatanya kau bisa menangani Cintya, Prita, Meggi, juga yang lain. Apa bedanya kalau sekarang kau harus menangani Elisha? Ayolah, Bob, aku selalu yakin kalau kau bisa.”
“Bos, Anda tidak tahu masalahnya. Sayalah yang ada di lapangan dan tahu betul bagaimana repotnya menangani mereka, dan seluruh jadwal jadi berantakan hanya karena orang-orang ini. Mereka sama sekali tak bisa berakting!”
“Tapi itu tidak ada pengaruhnya, kan?”
“Maksud Anda?” Bobby merasa darahnya kian mendidih.
“Maksudku, orang-orang yang kusodorkan ini tidak memegang peran utama. Mereka hanya pemeran pembantu, dan memang itulah yang mereka inginkan—hanya ingin bisa main sinetron. Kehadiran mereka sama sekali tidak memperbaiki mutu sinetron garapanmu, tapi juga tidak merusakkannya. Jadi, apa masalahnya?”
Bobby menghela napas kesal. “Saya tidak bisa, Bos.”
Hasnan Wibowo menatap sutradaranya itu. “Bob, katakan, apa masalahnya?”
Bobby langsung menyambar. “Saya tidak bisa bekerja dengan cara seperti ini, Bos...”
“Tetapi kau bekerja untukku, Bob, kuharap kau belum melupakannya!”
Bobby bangkit dari kursinya, kemudian berkata, “Kalau begitu, saya mengundurkan diri.” Lalu dia melangkah meninggalkan produsernya.
“Bob...” Hasnan Wibowo terkejut menghadapi reaksi yang tak pernah dibayangkannya itu.
“Bob,” panggil Hasnan Wibowo, sementara Bobby telah sampai di ambang pintu. “Aku...aku bisa menaikkan gajimu.”
Bobby berbalik. “Anda tidak paham, Bos,” kata Bobby dengan suara menahan amarah. “Saya tidak bekerja atas dasar uang semata-mata. Saya mencintai pekerjaan saya!”
“Bob...”
Tapi Bobby telah berlalu, dan pintu kantornya berayun menutup. Hasnan Wibowo duduk dengan bingung.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 24)