
Tampak nama Purek III di bagian depan amplop itu, dan Ferry bertanya-tanya dalam hati, ada urusan apa Anisa dengan Purek III?
Dibukanya amplop itu, dan dikeluarkannya surat di dalamnya. Sementara Anisa masih pulas dalam tidurnya.
Ferry membaca isi surat itu, dan merasakan dadanya tiba-tiba menghangat. Isi surat itu hanya berisi suatu permohonan yang diketik rapi dan pendek, dan sekali membacanya Ferry pun tahu segala-galanya.
Jadi untuk urusan inilah Anisa sejak tadi menghilang dan tak bisa dihubungi. Sekeluar dari ruang dosen setelah mengikuti ujian susulan tadi, Anisa langsung menghilang dan tak dapat ditemukannya. Dia pasti langsung menuju ke gedung rektorat untuk menemui Purek III. Anisa pasti sengaja mematikan ponselnya agar tak bisa dihubungi, agar Ferry tak mengetahuinya.
Dengan perasaan tak karuan, Ferry menatap wajah kekasihnya yang masih terlelap, kemudian dialihkannya kembali tatapannya pada kertas surat yang masih terbuka di tangannya. Ferry merasakan kedua matanya menghangat.
Anisa masih terlelap dalam tidurnya.
***
Malam belum larut. Indra baru memasukkan mobilnya ke dalam garasi, dan kemudian membuka pintu rumahnya. Tubuhnya terasa capek setelah seharian bekerja di lokasi syuting. Big Bobby, sutradara yang menurut Dimas dan Doni mengidap sindrom ‘maha kuasa’ itu, benar-benar menggunakan kekuasaannya di lokasi syuting untuk memerintahkan apa saja pada orang-orang yang bekerja dengannya. Kalau setiap artis harus bekerja dengan Bobby setiap hari, Indra yakin mereka pasti akan cepat mati, atau setidaknya cepat tua.
Dia menatap wajahnya sendiri di cermin kamarnya untuk memastikan dirinya tidak cepat tua meski selama ini bekerja dengan Bobby. Indra tersenyum. Ia masih tampak muda, tampan, juga masih memiliki senyum kekanak-kanakan yang manis. Indra tak menyangkal kalau dalam dirinya ada suatu perasaan narsis, tapi ia tak terlalu merisaukannya. Hampir semua artis yang dikenalnya juga narsis.
Indra melepas bajunya, kemudian melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Berendam lama-lama di air hangat dalam bath-tub setelah lelah seperti ini adalah suatu kesenangan kecil yang sangat dinikmatinya. Dan sekarang ia sudah ingin kembali masuk ke dalam tempat peristirahatannya itu.
Dengan tubuh setengah telanjang, Indra mengisi bath-tub dengan air hangat, meletakkan ponsel di dekatnya, kemudian masuk ke dalam surganya.
Kehangatan air dalam bath-tub terasa menyegarkan dan memijat-mijat seluruh tubuhnya yang terasa capek, dan Indra pun berbaring nyaman menikmatinya.
Seperempat jam setelah ia berbaring di sana, ponselnya berbunyi. Indra sudah mengantisipasi hal itu, karenanya ia selalu membawa ponsel kesayangannya ke dekatnya berendam. Ia meraih ponsel, dan menerima panggilan itu setelah melihat nama Hilda di layarnya.
“Selamat malam, Hilda,” sapa Indra lembut.
“Malam, Ndra,” suara Hilda tak kalah lembut di seberang sana. “Masih syuting? Atau sudah pulang?”
“Sudah pulang. Baru saja.” Indra menggerakkan tubuhnya agar posisi duduknya lebih nyaman.
“Hei, aku mendengar suara air. Kau sedang mandi?”
Indra tertawa kecil. “Iya nih, lagi berendam.”
“Aduh Indraaa, kenapa tidak mengajakku?” Kali ini suara Hilda terdengar manja, diiringi tawa kecilnya.
“Kan sudah,” goda Indra sambil tersenyum di dekat ponselnya. “Kau saja yang tidak datang.”
“Aku sangat menyesal,” balas Hilda. Lalu dengan menggoda ia melanjutkan, “Apakah ada undangan susulan?”
“Wah, kali ini tidak ada, Hil. Bagaimana kalau lain kali?”
“Aku akan senang sekali! Kapan lain kali itu?”
Indra terdiam sesaat, kemudian berujar, “Aku belum bisa memastikan. Tapi yang jelas, kalau aku lagi break dan tidak capek, aku akan menghubungimu.”
“Sungguh?”
“Kau tahu aku tidak pernah bohong, kan?”
“Kau juga tahu aku bahagia bersamamu.”
“Thanks, Hilda.” Indra memelankan suaranya. “Kau tahu, kau sungguh istimewa.”
“Kau juga,” balas Hilda dengan manis. “Oke, Ndra. Kau lanjutkan dulu mandimu. Jangan lupa call aku kapan-kapan, ya? I love you.”
Indra meletakkan ponselnya di tempat semula, dan kembali berbaring nyaman dalam bath-tub. Dia selalu suka menerima telepon Hilda, dia juga selalu suka mendengarkan suara Hilda. Lebih dari itu, Indra sangat menyukai kebersamaan dengan Hilda. Meski Hilda bukan satu-satunya.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 21)