
Tapi perempuan yang sekarang sedang dibentak-bentak sutradara itu sepertinya bukan orang yang biasa. Ia tampak sangat gugup dan salah tingkah. Semakin mendekat ke lokasi syuting, Indra semakin jelas melihat perempuan itu, dan dia mengerutkan keningnya karena baru melihatnya.
“Siapa?” bisik Indra pada Geovanni, salah satu artis pendukung sinetron yang tengah syuting ini.
Geovanni hanya mengangkat bahu, dan kembali menekuri naskah skenario di tangannya.
Indra beranjak dan melangkah ke tempat juru rias yang telah menunggunya.
“Kau bukan bicara dengan hantu, Nak, kau sedang bicara dengan sesamamu. Bicaralah dengan wajar!” teriak Bobby pada perempuan itu, yang sayup-sayup didengar Indra dari tempatnya.
Indra duduk di tempat yang telah dipersiapkan, dan bersiap untuk make up.
“Siapa tuh, Le?” tanya Indra pada Leo, juru riasnya.
“Tahu tuh, Ndra. Ike juga baru lihat,” jawab Leo dengan gayanya yang kemayu. “Dengar-dengar sih namanya Cintya.”
“Kenapa Bang Bob sampai hampir meledak seperti itu?”
“Ya biasalah Bang Bob. Banyak petasan dalam perutnya.”
Indra tertawa. Sambil duduk santai, Indra memandang ke arah lokasi syuting dan melihat perempuan tadi tampak semakin gugup dan salah tingkah. Berkali-kali re-take. Berkali-kali adegan diulang. Berkali-kali Bobby berteriak tidak sabar. Berkali-kali terdengar bentakan.
Kru yang membantu syuting adegan itu terlihat makin gelisah, dan perempuan itu makin tampak salah tingkah. Bobby makin meledak.
“Sejak awal aku sudah tahu kalau kau memang idiot, Nak!” Sayup-sayup suara Bobby yang kasar terdengar dari tempat Indra.
Dan perempuan itu kini menangis.
***
Anisa melangkah seorang diri memasuki gedung rektorat kampusnya, sambil dalam hati berharap langkahnya tak terpergok Ferry. Apa yang akan dilakukannya ini benar-benar berat, namun dia harus melakukannya. Anisa pun tahu, kalau Ferry sampai mengetahui hal ini, dia pasti akan mencegahnya. Ini bukan yang pertama kalinya. Ini kedua kalinya Anisa merasa berdebar-debar saat akan menemui Purek III (Pembantu Rektor yang bertugas mengurusi masalah kemahasiswaan), untuk kembali mengajukan pinjaman beasiswa karena tak punya uang lagi untuk membayar biaya semesterannya.
Beasiswa pinjaman atau pinjaman beasiswa adalah istilah untuk sejumlah uang yang dipinjamkan kepada mahasiswa-mahasiswa tertentu yang kesulitan membayar biaya SPP dalam satu semester—suatu pinjaman tanpa bunga—dan pinjaman itu biasanya sudah harus dikembalikan dalam waktu maksimal dua semester mendatang. Semester yang lalu, saat memasuki semester tujuh, Anisa telah mengajukan pinjaman untuk membayar SPP-nya karena uang tabungannya telah habis untuk membantu ibunya yang waktu itu jatuh sakit.
Pinjaman semester yang lalu itu belum dapat dikembalikannya, dan sekarang ia harus mengajukan pinjaman kembali karena sekali lagi jumlah tabungannya tak mencukupi untuk membayar biaya SPP semester ini. Gajinya sebagai karyawan dealer ponsel bulan ini sudah habis digunakan untuk menebus obat saat ia baru keluar dari rumah sakit kemarin.
Anisa menaiki anak tangga gedung rektorat, dan perasaannya semakin berdebar-debar. Selalu saja begini. Tidak ada orang yang bisa merasa santai ketika akan berhutang, sementara hutang sebelumnya belum dibayar.
“Hei, Nis,” seseorang menyapanya dari arah berlawanan.
Anisa tersenyum pada Lilik. “Lik, dari mana?”
“Barusan ke Purek Tiga. Biasalah,” kata Lilik sambil mengedipkan matanya. “Kau?”
“Aku juga mau kesana. Bagaimana, berhasil?”
“Iya sih, cuma harus ribut dulu. Pak Mirwan sepertinya lagi bad mood, tuh.”
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 14)