Hati yang Memilih
Pemakaman itu terasa lengang. Para pelayat yang mengantarkan jenazah Anisa telah meninggalkan makam satu persatu. Pagi itu begitu hening. Yang terdengar hanya suara burung yang bersahutan di ranting-ranting pohon. Air hujan yang turun semalam membasahi tanah, namun sebagian telah terserap oleh matahari yang bersinar cerah. Beberapa kuntum bunga kamboja berguguran, berserak di tanah makam, kelopak-kelopaknya tampak sangat segar.

Indra dan Ferry duduk terpekur di kanan-kiri makam Anisa, di dekat nisan putihnya.

Angin berhembus perlahan, menyibakkan dedaunan, dan matahari sesaat menyinari tempat mereka. Beberapa kuntum kamboja kembali berguguran. Sebagian kelopaknya basah karena air hujan semalam.

Indra mengulurkan tangannya.

Ferry melihatnya, dan dia menyambut uluran tangan itu.

Bunga-bunga kamboja kembali berguguran. Beberapa kuntumnya terjatuh di gundukan tanah makam Anisa.

Indra bangkit berdiri, sudah saatnya untuk pulang. Ferry pun bangkit dari tempatnya, dan menatap sejenak pada makam di hadapannya. Kemudian mereka melangkah.

Burung-burung masih bersahutan di ranting pohon.

Langit seperti baru dibersihkan.

***

Dua bulan kemudian.

Sore itu Ferry masih asyik mengobrol dengan Indra dalam kamarnya, ketika ponsel di dekat Indra berbunyi. Indra meraihnya, dan melihat sederet nomor di layar ponselnya.

“Halo,” sapa Indra.

“Indra?!” suara di seberang sana. “Apa kabar? Ini Elisha!”

Indra terkejut karena tak pernah membayangkan. “Elisha! Senang sekali bisa mendengar suaramu! Kabarku baik. Kau?”

“Luar biasa baik!” Elisha terdengar sangat bahagia. “Oh ya, aku dapat nomor ponselmu dari Dimas. Beberapa kali aku menghubungi nomormu yang lama, tapi tidak pernah nyambung. Kau masih di Semarang?”

“Ya,” jawab Indra. “Bagaimana kabar Jakarta?”

“Seperti biasa! Sibuk, macet, kacau!” Elisha tertawa. “Tapi aku senang di sini. Hei, aku ingin mengabarkan, sekarang impianku telah tercapai, Ndra!”

“Ya?”

“Aku sudah syuting sinetron!” Elisha terdengar bersemangat.

“Oh ya? Aku senang mendengarnya!”

Elisha lalu berkata, “Waktu aku di rumah sakit dan kau menjengukku, kau sudah banyak memberikan motivasi dan semangat buatku. Thanks untuk saat itu, Ndra. Kau sudah membantu mengobarkan kembali semangatku, dan... seperti yang kaubilang, aku akhirnya bisa meraih impianku.”

Indra sejenak mengerutkan kening. Mungkin bukan dia yang menjenguknya. Itu pasti Ferry. Waktu itu dia masih di Semarang.

Elisha melanjutkan, “Kau tahu apa yang kulakukan setelah keluar dari rumah sakit? Aku ikut kursus akting sepulang kuliah. Capek banget, sih. Setengah hari di kampus, lalu pergi untuk kursus sampai malam. Tapi aku menikmatinya.”

“Dan sekarang kau sudah menikmati hasilnya,” kata Indra.

“Ya,” jawab Elisha sambil tertawa. “Kau tahu siapa sutradara sinetron pertamaku?”

“Siapa?”

“Kau pasti terkejut,” sahut Elisha. “Big Bobby!”

“Oh ya?” Indra benar-benar terkejut.

“Ya.” Elisha lalu menuturkan, “Bobby sekarang membuka PH sendiri, dan ini sinetron pertama produksinya. Waktu jadwal kasting dibuka, peminatnya banyak sekali! Aku nekat ikut lagi. Aku sudah nyaris pingsan waktu melihat Bobby di sana, tapi waktu itu aku sudah nekat. Dan aku sukses, Man! Kau tahu bagaimana komentar Bobby setelah aku selesai kasting?”

“Bagaimana?” Indra benar-benar ingin mendengarnya.

Elisha tertawa. “Dia menatapku seperti terpana, dan berkata, ‘Hei, Nak, apakah kau dilahirkan kembali?’”

Indra tertawa sambil membayangkan Bobby. Ia jadi merasa kangen dengan sutradara itu.

“Omong-omong, Ndra,” lanjut Elisha, “kapan kau akan kembali ke Jakarta?”

Indra mendesah. “Aku belum tahu, Elisha. Aku bahkan tidak tahu apakah akan kembali ke sana atau tidak.”

“Ndra, kau harus kembali,” kata Elisha. “Hidupmu ada di sini.”

Indra tertawa lagi. “Kau mengingatkanku pada Dimas. Dia juga mengatakan seperti itu.”

“Kalau Dimas yang mengatakan, kau harus mendengarkan,” ujar Elisha sungguh-sungguh.

“Entahlah, Elisha.” Indra terdiam sesaat, lalu, “Aku sudah banyak kehilangan sahabat di Jakarta.”

“Kau masih memiliki aku, Ndra,” kata Elisha. “Aku tetap sahabatmu, ingat?”

“Tentu saja aku selalu ingat.”

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 128)