Ferry mengecup keningnya dengan lembut, dan Anisa menginginkan waktu menjadi abadi. Ferry kemudian duduk, dan kemudian menggenggam tangannya.
“Kau sudah agak baikan?” tanya Ferry memperhatikan wajah Anisa. “Kau tampak segar.”
Anisa tersenyum. “Karena aku bisa melihatmu lagi,” katanya kemudian dengan perlahan. “Kapan terakhir kali aku melihatmu, Fer?”
Ferry tersenyum. “Mungkin satu abad yang lalu?”
“Ya,” kata Anisa lirih. “Sepertinya sudah lama sekali...”
Ferry menggenggam tangan Anisa dengan kedua tangannya, dan ia menginginkan dapat menggenggam tangan itu selamanya.
“Fer...” bisik Anisa.
“Ya...?”
“Kau tahu apa yang sekarang paling kuinginkan?”
Ferry mendekatkan wajahnya. “Apa?”
“Aku ingin selalu bisa melihatmu... Selamanya...”
***
Di luar dugaan siapapun, Febiola datang menjenguk Anisa di rumah sakit. Hari itu, ketika Indra baru keluar dari ruangan Anisa, ia berpapasan dengan Febiola yang tengah berjalan menuju ke arahnya.
“Febi!” sapa Indra dengan terkejut.
“Hei,” Febiola tersenyum. “Anisa di ruangan itu?”
“Iya.” Indra mengangguk. “Kau... kau mau menjenguk Anisa?”
“Iya, kenapa?”
Indra menatap Febiola dengan tatapan bertanya-tanya. “Dari mana kau tahu Anisa dirawat di sini?”
Febiola tersenyum. “Dua hari yang lalu aku menelepon ke rumahmu, karena ponselmu tidak aktif. Kata mamamu, kau masih di rumah sakit menjenguk Anisa. Oh ya, bagaimana keadaannya?”
Indra mendesah tertahan. “Kadang kondisinya bagus, kadang menurun. Temuilah dia, mungkin kehadiranmu bisa membawa kebaikan untuknya.”
Mereka pun berpisah, dan Febiola terus melangkah menuju ke ruangan Anisa dirawat. Saat melihat Febiola, Anisa tampak terkejut, namun segera tersenyum menyambutnya.
“Hei,” sapa Febiola dengan ceria. “Kau masih ingat aku?”
Anisa mengangguk. Febiola duduk di dekat tempat tidur Anisa.
“Kau Febi,” kata Anisa lirih.
Febiola tersenyum mendengar Anisa menyebut namanya pertama kali. “Bagaimana keadaanmu? Sudah agak baikan?”
“Entahlah,” jawab Anisa, “kadang aku merasa lebih sehat, kadang lemas sekali.”
Febiola menepuk-nepuk tangan Anisa dengan lembut, dan tersenyum membesarkan hati Anisa. “Aku yakin kau akan sehat kembali.”
Anisa tersenyum menatap wajah Febiola. Mengapa monster ini bisa berubah menjadi bidadari?
Febiola melihat senyum itu, dan bertanya, “Kenapa...?”
Anisa masih tersenyum saat menjawab, “Kau tahu, dulu aku menyangkamu apa?”
“Apa...?”
“Dulu, aku pernah menyangkamu monster.”
Febiola tertawa. “Dan sekarang?” tanyanya kemudian.
“Kau seperti bidadari,” jawab Anisa lirih.
Febiola kembali tertawa. “Kau ada-ada saja,” katanya. “Oh ya, kau tahu apa yang kuinginkan kalau kau sudah sehat lagi?”
“Apa...?”
“Aku ingin makan martabak bersamamu lagi.”
Anisa pun tertawa lirih. “Di bawah hujan?”
“Ya,” jawab Febiola. “Dengan segelas teh hangat. Itu pengalaman pertama buatku.”
“Juga buatku.”
***
Besok paginya, Anisa kembali masuk ruang emergency dalam keadaan kritis. Selang-selang kembali bertebaran di sekitar tubuhnya, dan Anisa terbaring dalam keadaan tidak sadar. Setelah seharian dipantau secara intensif oleh dokter dan para perawat, bunyi kardiografi yang panjang kemudian mengantarkan Anisa menghembuskan napasnya yang terakhir.
Anisa meninggal dunia pada hari Senin, di suatu senja yang sejuk di Semarang.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 127)