***
Saat keluar dari ruangan dokter itu, Ferry merasa kedua kakinya tak memijak lantai. Kanker? Kanker otak? Ya Tuhan, mengapa dia tidak pernah berpikir sejauh itu...? Mengapa dulu dia tak menghiraukan saat Febiola mencoba mengingatkannya...?
“Fer, bukannya aku mau menakutimu, tapi kurasa mungkin ada suatu penyakit di kepala pacarmu. Semalam kulihat dia pucat sekali dan sangat kesakitan. Itu bukan pusing atau sakit kepala biasa, Fer... Tetanggaku ada yang pernah menderita gejala seperti Anisa, dan dia ternyata menderita... Sebaiknya kau cari sendiri jawabannya. Yang jelas, dia pacarmu dan ini menyangkut pacarmu.”
Dia tahu! Perempuan itu tahu pusing yang diderita Anisa bukan pusing kepala biasa. Febiola tahu, dan dia telah mencoba mengingatkannya. Tapi Ferry tidak percaya. Dia tidak percaya ketika Febiola mengingatkannya agar melakukan sesuatu...
Ferry merasa sangat terpukul, juga menyesal. Dan sekarang penyesalan itu terasa menjadi sebuah gumpalan keras, dan menggedor-gedor dalam batinnya. Apa yang akan terjadi pada Anisa? Apa yang akan terjadi dengannya...?
“Saudara Ferry, saya harus memberitahukan, kanker yang diderita pacar Anda telah mencapai stadium akut. Saya hanya dapat menolongnya, dan kita hanya bisa berharap...”
Ferry menutupkan kedua tangan pada wajahnya dengan hati kacau dan perasaan yang hancur. Seluruh tempat dalam benaknya terisi oleh bayangan Anisa. Kenangan... Perjalanan waktu... Saat-saat manis... Canda dan tawa mereka... Kebersamaan yang pernah dilalui... Rasa kangen... Perasaan sayang... Tawa ceria... Cinta...
Tanpa terasa Ferry merasakan wajah di balik tangannya telah membasah. Tubuhnya terguncang di atas bangku rumah sakit, menahan isaknya yang lirih. Jangan ambil dia, Tuhan... Jangan ambil dia... Biarkan dia hidup... Aku masih ingin melihatnya... Biarkan dia hidup, Tuhan...
Di dalam rumah sakit yang lengang malam itu, Ferry tenggelam dalam kesedihan dan kedukaannya.
Di luar rumah sakit, langit masih menangis.
***
Semenjak Anisa masuk rumah sakit, perang yang semula panas di rumah mereka menjadi perang dingin. Indra dan Ferry sama-sama tahu bahwa maut sewaktu-waktu bisa mendatangi orang yang sama-sama mereka cintai, dan mereka akan kehilangan Anisa. Ini bukan waktu yang pantas untuk melanjutkan peperangan.
Anisa terbangun dari ketidaksadarannya setelah dua hari tiga malam berada di rumah sakit. Setelah itu, kadang-kadang dia sadar beberapa waktu lamanya, kemudian kehilangan kesadaran kembali.
Sore itu adalah hari keempat Anisa berada di rumah sakit, dan di hari itulah dia baru bisa dijenguk. Indra yang pertama kali datang menjenguknya. Anisa dalam keadaan sadar. Dia tersenyum lemah menyambut kedatangan Indra. “Indra...” ucapnya lirih.
Indra mendekatkan wajahnya. “Kau tahu aku Indra?”
“Sekarang aku tahu...” jawab Anisa sambil tersenyum lemah.
Indra meraih tangan Anisa, dan menatap wajah perempuan itu. “Maafkan atas semua yang telah terjadi ini...”
Anisa berkata perlahan, “Takdir memang misterius, ya...?”
“Ya,” bisik Indra sambil mencoba tersenyum. “Dan kita tidak berdaya di tangannya...”
“Tapi aku bahagia,” kata Anisa lirih. “Aku bahagia pernah ada di dalamnya. Mengenalmu...”
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 126)