Hati yang Memilih
Anisa terbaring tak sadarkan diri di ruang emergency, dengan selang-selang berseliweran di sekitar tubuhnya. Suara kardiografi tak henti-hentinya mengabarkan kondisi tubuhnya, sementara dokter dan beberapa perawat tampak masih sibuk di ruangan itu.

Saat petugas IGD menerima pasien itu, mereka benar-benar bingung karena si pasien pingsan tak sadarkan diri, diantarkan dua anak muda berwajah kembar yang basah kuyup dengan wajah yang agak lebam. Bibir mereka juga tampak terluka dan berdarah. Ini bukan korban kecelakaan, kedua bocah kembar itu menegaskan. Tapi petugas di IGD tak punya waktu untuk meributkan itu pasien korban kecelakaan atau bukan. Melihat kondisi pasien, si petugas segera tahu pasien itu harus segera mendapatkan pertolongan.

Sekarang dua anak muda berwajah kembar itu duduk berjauhan, saling membisu dan tampak sama-sama frustrasi. Suasana rumah sakit begitu sepi, karena sudah larut malam. Tidak ada pengunjung, hanya beberapa dokter dan perawat yang masih terlihat lalu-lalang di sepanjang koridor.

Ferry bangkit dari tempat duduknya di atas kursi panjang, dan mendekati Indra. Ia berdiri di hadapannya, dan berkata pendek-pendek, “Kau pergi. Kabari orang tua Anisa. Katakan dia di sini.”

Indra tahu ini bukan saat yang tepat untuk berdebat apalagi berperang. Dia pun bangkit, dan tanpa menjawab segera berlalu dari hadapan Ferry.

Ferry kembali duduk di atas kursi panjang itu. Dengan hati dan pikiran yang kacau. Dengan perasaan tak menentu. Apa yang terjadi pada Anisa? Ferry menyeka wajahnya yang basah oleh sisa air hujan yang menetes dari rambutnya. Dia juga merasakan bibirnya terluka. Mengapa dia dan Indra bisa sekonyol ini? Dan sekarang Anisa terbaring tak sadar di dalam...

Ketika seorang dokter keluar dari ruang emergency, Ferry tengah menunduk dan mengatupkan kedua tangan pada wajahnya.

Sang dokter mendekati Ferry, lalu berdehem lembut, menyadarkan Ferry akan kehadirannya.

Ferry membuka tangannya, menengadahkan kepala dan menatap sang dokter di hadapannya.

“Maaf,” kata si dokter dengan suara yang halus. “Anda keluarganya?”

“Ya,” jawab Ferry pasti.

“Bisa ke ruangan saya sebentar?”

Ferry bangkit dari duduknya, dan melangkah mengikuti dokter itu. Mereka memasuki sebuah ruangan yang bersih, agak jauh dari tempat tadi.

Setelah mereka duduk berhadapan, dokter itu memulai, “Saudara...”

“Ferry.” Ferry memperkenalkan namanya.

“Saudara Ferry, pasien itu adik Anda, atau...”

“Dia pacar saya.” Ferry menjawab spontan, kemudian menjadi gugup. “Dia...dia tidak apa-apa?”

Dokter itu mengangguk. “Mungkin dia tadi terjatuh?”

“Ya,” jawab Ferry. “Mungkin tubuhnya lemas dan lalu terjatuh.”

Sekali lagi dokter itu mengangguk. Lalu berkata perlahan, “Begini, kepala pacar Anda terbentur sesuatu yang keras, dan ada luka memar di belakang kepalanya. Kami sudah memeriksanya. Kami juga telah melakukan scan pada bagian itu, dan... kami menemukan sesuatu yang lain.”

“Ya...?” Ferry semakin gugup.

“Apakah dia sering menderita pusing-pusing?” tanya dokter itu lagi.

Ferry mengangguk.

“Anda tidak pernah memeriksakannya ke dokter?”

“Dulu pernah, waktu dia pingsan, saya membawanya ke rumah sakit.” Ferry menjelaskan dengan terbata-bata. “Kata dokternya, dia terkena tipus.”

Dokter itu kembali menganggukkan kepala. Setelah terdiam sebentar, dia menatap wajah Ferry, lalu berkata dengan lembut, “Maafkan saya harus menyampaikan ini. Pacar Anda menderita... kanker otak.”

Suara yang lembut itu terdengar bagai bom. Seketika Ferry merasa darahnya membeku. Kanker otak? Mengapa dia tidak pernah berpikir sejauh itu? Pusing-pusing di kepala Anisa. Beberapa kali pingsan yang dialaminya. Tubuh yang begitu lemah... Rumah sakit yang dulu mendiagnosis Anisa menderita tipus tentu tak melakukan pemeriksaan pada kepalanya.

Dengan sangat gugup Ferry kemudian bertanya, “Dokter, apakah... apakah... Anisa bb-bisa ditolong...?”

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 125)