Ferry terus memacu gas di tangannya, berharap segera sampai di tempat kerja Anisa. Jaraknya kini sudah tak terlalu jauh. Sesaat lagi dia akan menjumpai kekasihnya.
Ferry mengusap wajahnya yang sangat basah oleh air hujan.
Hujan terus membasahi wajahnya.
***
Dealer ponsel itu kini sudah tutup, dan Anisa berdiri sendirian dengan tubuh yang semakin terasa lemah. Kawan-kawan sekerjanya sudah pulang, dan sekarang Anisa sendirian. Seperti yang ia takutkan sejak tadi, becak langganannya tidak ada, sementara hujan sangat deras mengguyur. Ferry...? Apakah dia juga tidak datang?
Anisa mencoba duduk bersandar pada pintu besi dealernya, untuk meredakan sakit kepalanya, dan berharap tubuhnya masih kuat menopang kesadarannya. Dia tidak boleh pingsan. Anisa menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Dia harus bernapas dengan teratur. Dengan teratur... agar tidak pingsan... dia tidak boleh pingsan...
Sekali lagi petir menggelegar, halilintar mengguncang.
Rembulan sudah tak ada. Dan langit menangis.
Airnya jatuh ke bumi. Sebagian memercik ke tubuh Anisa.
***
Indra terus memacu mobilnya, tak lagi peduli hujan yang turun, tak peduli aspal yang licin. Dia hanya ingin segera menemukan Ferry.
Wiper di kaca mobilnya terus bergerak, dan Indra terus mempercepat laju mobilnya. Jalanan tak terlalu ramai karena hujan yang deras mengguyur, hingga Indra bisa memacu mobilnya dengan cepat. Ketika jarum speedometer semakin merangkak naik, Indra mulai melihat sosok yang dicarinya. Di depannya, tampak Ferry tengah melaju dengan motornya.
Meski pandangannya sedikit terhalang kaca yang agak buram dan wiper yang terus bergerak, Indra yakin sosok itu memang Ferry. Jarak mereka kini sudah tak terlalu jauh dengan dealer tempat kerja Anisa. Indra pun semakin bernafsu menekan pedal gas, dan mobilnya terasa terbang di atas jalanan yang licin.
Langit tampak terbelah ketika kilat menyambar dengan terang.
Sekali lagi Indra tak mempedulikannya.
***
Silvia berada di lantai atas rumahnya, tengah asyik melipat kain-kain batik yang tadi sore diantarkan dari pabrik. Ketika mendengar suara telepon yang berdering-dering, dia tak terlalu menghiraukannya, karena berpikir Indra atau Ferry pasti akan mengangkatnya. Tetapi lama sekali telepon itu berdering, dan belum juga ada yang mengangkat. Apakah Ferry sudah tidur? Apakah Indra tidak mendengar?
Silvia pun turun dengan sedikit tergesa untuk menerima telepon itu. Dia tidak sempat mengecek kamar Indra ataupun Ferry.
“Halo,” sapa Silvia saat menerima telepon itu.
“Selamat malam,” suara di seberang sana. “Ferry ada, Tante?”
“Ferry? Sebentar ya,” jawabnya Silvia, lalu melangkah ke kamar Ferry. Apakah anaknya itu telah tertidur karena di luar hujan?
Ferry tidak ada di kamarnya. Silvia mencoba mencarinya ke ruangan lain, namun tetap tidak ada. Saat memeriksa garasi, tahulah Silvia kalau Ferry sedang keluar. Sepeda motor yang biasa digunakannya tidak ada.
Juga mobil. Apakah Indra juga keluar? Nanti akan diceknya kamar Indra. Kemana anak-anaknya?
Buru-buru didekatinya pesawat telepon untuk menjawab si penelepon. “Halo, Ferry-nya tidak ada, mungkin sedang keluar,” kata Silvia. “Ini dengan siapa?”
Suara petir di langit yang menjawabnya.
Penelepon di seberang sana sudah menutup teleponnya.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 123)