hati, heart
Anisa merasakan kepalanya semakin berat seiring jarum jam yang terus merangkak menuju angka sembilan. Kepalanya mulai terasa pusing siang tadi, dan terasa semakin berat saat memasuki sore. Kini rasanya makin berat dan makin berat saja. Dua hari lagi dia dapat jatah libur. Dia tak boleh lupa pergi ke puskesmas untuk memeriksakan kesehatannya. Mungkin dia menderita anemia seperti yang dikatakan Indra dan juga Febiola. Dia memang sering telat makan, dan sering merasa sangat capek. Apa kata Febiola kemarin itu? Sering minum susu, daging dan sayuran... buah-buahan... Anisa tak akan melupakannya. Dia memang sangat kurang mengkonsumsi semuanya itu.

Sekarang, saat dealernya akan tutup, Anisa merasakan kepalanya seperti dibebani berton-ton karung pasir. Anisa merasakan tubuhnya jadi sangat lemah. Semoga saja becak langganannya sudah ada di depan, agar dia tak terlalu lama menunggu. Oh, bukankah... kalau tak salah ingat... tadi siang Ferry berjanji untuk menjemputnya...? Tadi siang... atau kapan...? Semoga Ferry benar-benar datang. Dia harus cepat pulang untuk istirahat. Ia khawatir akan pingsan karena merasakan kepalanya yang berat, dan tubuhnya yang makin lemah... Semoga saja Ferry datang...

Langit menurunkan gerimis. Kemudian hujan. Dan guntur.

Anisa merasakan kepalanya semakin berat.

***

Sejak tadi Indra sudah curiga dengan saudaranya. Dia tahu, cepat atau lambat Ferry pasti akan menemui Anisa. Tadi siang dia telah melakukannya, dan tidak ada jaminan dia akan cukup sampai di situ.

Ternyata dugaannya benar-benar tepat. Ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul sembilan, Indra mendengar suara pintu garasi terbuka. Pasti si pengacau itu!

Indra pun segera turun dari kamarnya, berlari menuju garasi, dan mendapati sepeda motor telah lenyap. Ferry telah pergi. Tanpa harus berpikir lama-lama, Indra sudah tahu kemana Ferry sekarang pergi. Dia pun segera mengeluarkan mobilnya dari garasi. Kalau Ferry akan menemui Anisa malam ini, Indra tidak peduli untuk mengobarkan perang di manapun.

Langit semakin gelap, halilintar menggelegar.

Indra sama sekali tak mempedulikan.

***

Di dalam kamarnya yang hangat, malam itu Febiola tak merasakan dinginnya hujan di luar. Ia masih asyik menonton DVD film terbaru yang ia sewa dari rental langganannya. Ketika film di layar sudah selesai, Febiola kembali ke angannya semula. Ia menyandarkan kepalanya di atas guling di pinggir tempat tidurnya.

Febiola belum bisa melupakan saat tadi siang menyaksikan Ferry bersama Anisa. Ferry pasti mengantarkan Anisa ke tempat kerjanya. Dan Indra juga melihatnya! Febiola menyadari saat Indra tiba-tiba terpaku, ketika melihat Ferry bersama Anisa.

Jadi umpanku termakan, pikir Febiola dengan puas. Ferry tentu sangat khawatir dengan pacarnya setelah mendapatkan laporan darinya, dan dia pasti akan berbuat apapun untuk Anisa meski harus berperang dengan Indra. Bagus, Gentleman!

Febiola meraih ponselnya, kemudian mencari nomor telepon rumah Ferry. Dia harus mengingatkan Ferry agar segera memeriksakan pacarnya ke dokter atau ke rumah sakit atau ke sinshe atau kemana pun, karena menurutnya Anisa pasti menderita sesuatu. Ya, dia harus menelepon Ferry.

Saat nomor telepon rumah Ferry tertemukan dalam phonebook ponselnya, Febiola pun menghubunginya. Dia langsung mendengar suara nada tunggu.

Suara nada tunggu di ponselnya sempat tak terdengar ketika petir menyambar dan guntur menggelegar. Kaca jendela kamarnya tampak bercahaya saat kilat menyambar, dan Febiola semakin erat menempelkan ponsel ke telinganya.

Nada tunggu itu masih terdengar.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 122)