Andini tidak kecewa. Lain kali itu bisa datang, dan dia bisa menunggunya. Lebih dari itu, Andini pun bahagia melihat senyum putrinya yang seperti tak pernah memudar sejak pagi tadi.
“Bagaimana acaranya? Sukses?” tanya Andini pada Febiola, sementara mereka berjalan memasuki rumah.
“Ramai sekali, Ma.” Febiola menjawab dengan antusias. “Febi bahkan tidak menyangka yang datang akan sebanyak itu.”
“Kau tentu capek, ya.”
“Capek, tapi senang.”
Saat Febiola duduk di sofa untuk melepas sepatu, Andini bertanya perlahan, “Feb, kau benar-benar serius dengan Indra? Tidak seperti dengan cowokmu yang dulu-dulu?”
Febiola melepaskan sepatunya. Kemudian mengangguk. “Iya.”
“Hubungan kalian sudah pasti?”
Febiola tertawa kecil. “Ini yang ngebet banget tuh Mama apa Febi, sih?”
Andini pun ikut tertawa. “Mama sih inginnya kau tidak main-main seperti dulu, Feb. Kalau memang kau serius dengan Indra, Mama mendukung pilihanmu.”
“Ya iyalah,” jawab Febiola masih dengan senyumnya, “orang Mama juga ngefans banget sama dia.”
Andini senang melihat ekspresi bahagia yang terpancar dari wajah putrinya. Selama menyaksikan Febiola beberapa kali ganti pacar selama ini, Andini belum pernah melihat ekspresi yang sebahagia itu. Andini kembali bertanya dengan lebih serius, “Jadi, hubunganmu dengan Indra sudah pasti?”
“Pasti sih belum, Ma,” jawab Febiola. “Tapi kan tidak harus buru-buru. Febi yakin kok, cepat atau lambat hubungan kami akan sampai ke arah itu.”
Ketika Andini kemudian pergi untuk meneruskan kegiatannya, Febiola tak tahu senyuman yang tersungging di bibir ibunya.
***
Ketika jarum jam merangkak mendekati angka sembilan, Ferry semakin gelisah. Dia harus menjemput Anisa malam ini. Tadi siang dia telah menjanjikan hal itu, dan Anisa pun tak menolak. Dia masih merasakan debar kebahagiaan yang tadi siang dirasakannya, saat mengulang saat-saat manis yang biasa ia lalui bersama Anisa. Dia ingin mengulangi debar-debar itu, ingin lagi merasakan kebahagiaan itu.
Tetapi si brengsek Indra tahu! Ferry merasa sangat kesal. Dari mana Indra tahu tadi siang dia menemui Anisa? Ferry memaki dalam hati. Ini sungguh tidak adil. Indra kencan seharian dengan perempuan lain, tapi dia tidak boleh menemui Anisa. Dan alasannya hanya karena dia mantan tunangannya. Mantan! Gila, saudaranya itu pasti ada yang tidak beres di otaknya!
Ferry pun kemudian tak mau peduli. Kalau Indra mau marah, itu urusannya sendiri. Ferry hanya tahu malam ini dia akan menjemput Anisa, dan peduli setan dengan Indra!
Ferry masuk ke garasi dan mengambil motornya.
Langit gelap tanpa bintang. Bulan bersembunyi di balik awan.
Ferry tak melihatnya.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 121)