
Dua kali Bobby hanya diam dan memenuhi permintaan itu, dan dengan hati amat terpaksa memasukkan perempuan yang disodorkan kepadanya untuk memerankan salah satu karakter dalam sinetronnya, meski untuk itu ia harus menambahi satu tokoh lagi—tokoh yang sama sekali tidak penting. Tetapi ketika ketiga kalinya produsernya meminta permintaan yang sama, Bobby tak kuat lagi.
Dia mencoba menemui sang produser, tapi orang itu tak pernah ada di kantornya. Sekretarisnya mengatakan ia sedang keluar, tengah rapat, tak bisa diganggu, dan lain-lain. Sekali lagi Bobby mengalah dan memasukkan perempuan entah siapa itu ke dalam sinetronnya, dan dia pun harus menyabar-nyabarkan dirinya menghadapi sosok yang sama sekali tak tahu bagaimana berakting tapi ngotot ingin jadi artis.
Sekarang untuk keempat kalinya dia diminta hal yang sama—memasukkan seorang perempuan lagi entah siapa untuk dapat berperan dalam sinetronnya. Bobby merasakan darahnya bergolak. Ia tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Sebagai orang yang telah bergelut dengan dunia artis selama bertahun-tahun, Bobby menyadari apa yang telah dilakukan perempuan-perempuan yang ngotot ingin jadi artis itu hingga bisa memaksa produsernya untuk memenuhi keinginan mereka main sinetron.
Sekali lagi Bobby memandangi kertas memo itu, dan sekali lagi merasakan darahnya bergolak. Idealismenya terasa memberontak, dan pekerjaannya sebagai sutradara terasa dilecehkan. Dia harus menemui produsernya. Dia harus menemui produser itu untuk mengatakan keberatannya, agar orang itu tahu bahwa ia tak bisa dipaksa seperti ini. Cintya? Siapa itu Cintya?
Bobby pun beranjak bangkit dari kursinya untuk menuju ruangan kantor Hasnan Wibowo.
***
Produser Matra Cinema itu tengah menerima telepon ketika sekretarisnya membuka pintu kantornya dan berkata pelan, “Bang Bob ingin bertemu, Pak.”
Hasnan Wibowo mengangguk. “Suruh dia menunggu sebentar.”
Si sekretaris berlalu, dan lelaki setengah baya itu pun kembali melanjutkan pembicaraannya di telepon, “Pokoknya kau datang saja nanti sore. Sutradaranya sudah tahu kau akan datang.”
“Terima kasih, Om,” kata suara di seberang sana. “Saya pasti akan datang. Sudah lama saya menantikan saat seperti ini.”
“Dan kau layak menerimanya, Cintya.”
Beberapa kata lagi, dan kemudian telepon diletakkan.
Pintu kantornya terbuka, dan Bobby tampak masuk sambil memegang memo yang baru saja diantarkan untuknya. Hasnan Wibowo sudah tahu maksud kedatangan sutradaranya itu.
Bobby duduk di hadapan sang produser, dipisahkan sebuah meja kayu jati berukuran besar, dan kemudian meletakkan memo itu di atas meja.
“Saya tidak memahami ini, Bos,” kata Bobby langsung.
“Itu hanya permintaan biasa, Bob. Kau sudah menerimanya sebelum ini.” Hasnan Wibowo menjawab dengan tenang.
“Tapi saya tidak mengenal siapa orang ini.”
“Nanti sore kau akan mengenalnya. Dia akan datang ke lokasi syuting.”
Bobby menghela napas. “Bos, semua tokoh dalam sinetron ini telah terisi, dan saya merasa tak bisa menambahkan satu orang lagi...”
“Kau tak perlu melakukannya, Bob,” jawab Hasnan Wibowo dengan santai. “Penulis skenarionya yang akan menambahkan satu tokoh lagi ke dalam cerita.”
“Tapi, Bos,” Bobby masih bertahan, “sinetron ini sudah fixed. Perombakan sekecil apapun akan mengganggu jalannya produksi.”
Hasnan Wibowo tersenyum. “Kau sudah lupa kalau aku produsernya?”
Bobby tahu hal itu akan menjadi kartu as bagi produsernya untuk menghentikan perdebatan ini. Dia produsernya. Dia yang membiayai produksi sinetron ini. Dia yang menggajinya. Dia yang berhak menentukan apakah sesuatu layak atau tidak untuk sinetron yang dibiayainya. Bobby pun merasa kinilah saatnya harus masuk pada persoalan intinya.
“Bos, saya sama sekali tidak tahu siapa Cintya ini. Dia bukan artis. Dia juga tidak ikut kasting. Saya tentu tak bisa begitu saja memasukkannya dalam sinteron ini dan...”
“Kau sudah pernah melakukannya, Bob,” potong Hasnan Wibowo dengan tenang.
“Ya, dan saya harus kerepotan setengah mati mengarahkannya,” desah Bobby menahan kejengkelannya. “Ada banyak orang yang ikut kasting untuk sinetron ini, dan sebagian besar dari mereka gagal. Bagaimana saya harus memasukkan orang ini?”
Hasnan Wibowo menempatkan kedua tangannya di atas meja dan menatap Bobby, lalu berkata perlahan, “Aku yakin kau pasti bisa melakukannya, Bob. Ini hanya soal biasa.”
Bobby terdiam, merasa tak punya argumentasi lagi untuk membantahnya.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 13)