“Nis,” kata Ferry kemudian, “nanti malam aku jemput, ya.”
Anisa, yang sangat menikmati kebersamaannya kembali dengan Ferry, segera saja menyahut, “Iya.”
Ferry pun bertekad akan datang menjemputnya, apapun yang terjadi.
***
Di dalam mobil yang terus melaju, Indra dan Febiola sedang bersenandung mengikuti suara Elthon John menyanyikan lagu klasiknya, Can You Feel The Love Tonight, yang mengalun pelan.
“Kau juga suka lagu ini?” tanya Indra saat lagu memasuki reffrain.
“Ini salah satu favoritku,” jawab Febiola, “sejak pertama kali mendengarnya.”
“Kau juga suka Elthon John?”
“Ya,” Febiola tersenyum menggoda, “kalau saja dia mau menyukaiku.”
Lampu merah menyala saat mereka sampai di perempatan jalan. Indra menghentikan laju mobilnya di dekat zebra cross, dan menunggu lampu hijau kembali menyala. Bibirnya masih menyanyi mengikuti suara Elthon John.
Tiba-tiba Indra tersentak. Bibirnya terhenti seketika dari lagu yang tengah dinyanyikannya. Di depannya, dia melihat Ferry juga sedang berhenti di belakang zebra cross bersama seseorang di belakangnya. Tanpa harus menyaksikan siapa perempuan yang membonceng Ferry, Indra sudah bisa memastikan itu Anisa.
Saat lampu hijau menyala, Ferry tampak melajukan motornya, berbelok ke arah kanan. Itu benar-benar Anisa, pekik Indra dalam hati saat melihat wajah perempuan di belakang Ferry. Indra seperti terpaku di tempatnya. Dia tidak sadar lampu hijau telah menyala, dan dia tidak juga menjalankan mobilnya. Suara klakson dari belakang terdengar bersahutan. Indra masih merasa terpaku di tempatnya.
Dia bahkan tidak tahu Febiola tengah tersenyum di sampingnya sambil masih menyanyikan can you feel the love tonight.
***
Satu-satunya hal yang ingin dilakukan Indra begitu pulang adalah melabrak saudara kembarnya. Karenanya, begitu sampai kembali ke rumahnya menjelang maghrib, Indra segera berlari menuju ke kamar Ferry dan langsung membuka pintunya dengan kasar. Ferry baru saja mandi dan sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk, dan ia terkejut melihat pintu kamarnya dibuka secara kasar.
“Apa yang kaulakukan tadi siang?!” labrak Indra langsung.
“Bukan urusanmu!” balas Ferry dengan wajah jengkel. Kenapa kau mendobrak pintu kamarku dan bertanya tanpa sopan-santun?!
“Tentu saja urusanku!” kata Indra dengan galak. “Kau menemui Anisa!”
Oh, jadi kau melihatnya! “Ndra! Kau kencan dengan Febiola seharian!” ujar Ferry dengan ekspresi muak. “Apa salahnya kalau aku menemui Anisa?!”
“Dengar, Fer. Kau juga boleh kencan dengan cewek mana pun, tapi kau tidak bisa menemui Anisa!”
“Itu urusanku, Ndra! Dia pacarku!”
“Tapi dia tunanganku!” Indra lalu segera meralat, “Dia mantan tunanganku!”
“Mantan!” cibir Ferry dengan ekspresi makin muak. “Mantan yang tidak tahu malu! Terus-menerus menganggap mantan sebagai miliknya!”
“Dia tetap milikku, Fer!” Indra berteriak marah. “Pertunangan kami tidak akan bubar kalau saja kau tidak muncul!”
Ferry membalas dengan sama marahnya. “Hubunganku dengan Anisa tidak akan kacau seperti ini kalau saja kau tidak merusaknya!”
“Aku tidak merusak, sialan!” teriak Indra dengan jengkel. “Kau sudah tidak ada waktu kami berhubungan!”
“Tapi kau tahu dia pacarku! Dan sekarang aku sudah ada, mau apa?!”
Keributan itu terdengar oleh ibu mereka yang saat itu sedang ada di kamar mandi. Buru-buru Silvia keluar dengan rambut yang masih tampak basah, dan segera menengahi dengan ekspresi marah campur lelah.
“Ya Tuhan, kapan sih kalian bisa tidak ribut sehari saja?! Setiap hari selaluuu saja ada yang dipermasalahkan! Mama sudah capek, Fer, Ndra! Mama sudah tidak kuat melihat kalian berantem terus setiap hari!” Kemudian Silvia menatap Indra dengan galak. “Ndra, tinggalkan kamar Ferry!”
“Ma, dia tadi menemui Anisa!” Indra mencoba bertahan.
Silvia yang sudah sangat lelah menjawab tegas, “Sekarang tinggalkan kamar Ferry!”
Dengan wajah jengkel, Indra pun menuruti perintah ibunya. Tapi sebelum meninggalkan tempat itu, Indra masih sempat mengancam saudaranya, “Kalau kau menemui Anisa lagi, kau akan tahu risikonya!”
Ferry sudah akan menjawab dengan sama marahnya, namun ibu mereka sudah menarik Indra dari tempat itu, sekaligus menutup pintu kamar Ferry.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 120)