Hati yang Memilih
Ketika matahari telah berada di puncaknya, Semarang terasa hangat setelah hujan yang semalam turun. Saat berencana akan mencuci motornya di garasi setelah semalam kehujanan, Ferry baru ingat Indra sedang keluar. Mobilnya tidak ada, dan tadi dia mengatakan siang ini ada acara fashion yang akan diikuti oleh Febiola. Jadi Indra tidak akan pulang sampai nanti. Dia akan bersama cewek itu.

Saat melihat jam menunjukkan pukul satu siang, Ferry pun mengurungkan niatnya untuk mencuci motor. Kalau sekarang dia menemui Anisa, tentu Indra tak akan tahu.

Ferry kembali ke kamarnya, berganti baju, kemudian mengeluarkan motor dari garasi.

Ketika sampai di depan rumah Anisa, Ferry merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia merasa seperti sedang mengunjungi pacarnya pertama kali. Ferry pun melangkah menuju pintu dengan perasaan yang tak karuan.

Anisa sangat terkejut ketika membuka pintu dan melihat sosok yang berdiri di sana.

“Si... siapa?” tanya Anisa dengan bingung, karena tidak tahu itu Ferry atau Indra.

Ferry tersenyum. “Ferry,” jawabnya kemudian.

“Ferry!” pekik Anisa tanpa sadar. “Oh, ya Tuhan, aku sempat berpikir kita tak akan bertemu lagi!”

Mereka duduk di ruang tamu, seperti dulu, seperti yang pernah mereka alami. Ferry sangat menikmati saat pertemuan ini. Ditatapnya wajah Anisa dengan penuh kerinduan. Sudah berapa abad dia tidak menyaksikan wajah yang lembut itu?

“Bagaimana kabarmu, Fer?” tanya Anisa sambil menatap Ferry.

“Baik,” jawab Ferry. “Menurutmu, sudah berapa abad kita tak bertemu?”

Anisa tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Indra tahu kau kesini?” tanyanya kemudian.

Ferry menggeleng. “Dia sedang keluar.” Lalu ketika menyadari jarum jam hampir menunjuk angka dua, ia pun bertanya, “Nis, kau berangkat kerja hari ini?”

Anisa mengangguk. “Iya.”

“Kau mau kalau aku mengantarkanmu?”

“Tentu saja aku senang,” jawab Anisa. “Tapi bagaimana kalau Indra atau mamamu tahu?”

Ferry terdiam. “Kau tidak perlu merisaukannya,” jawabnya kemudian. “Aku yang tanggung jawab seandainya ada yang tahu.”

Anisa pun akhirnya mengangguk meski masih bimbang.

Mereka pun lalu berboncengan dengan motor Ferry, menuju ke tempat kerja Anisa.

“Kau tahu, aku sudah lama sekali merindukan saat seperti ini,” kata Ferry sementara motor mereka melaju.

Aku juga, batin Anisa. Tapi ia hanya berbisik lirih, “Aku tahu...”

Ferry ingin lebih lama menikmati saat-saat yang indah itu. Ia pun sengaja melambatkan laju motornya. Dia tidak ingin segera sampai ke tujuan.

***

Setelah menikmati makan siang dengan ikar bakar yang lezat di kolam pemancingan, Indra dan Febiola kini bersiap-siap untuk berangkat kembali menuju ke tempat diadakannya acara fashion yang akan diikuti Febiola.

Andini tak henti-hentinya menampakkan senyum lebar dan wajah yang penuh kebahagiaan menyaksikan segala yang terjadi hari ini. Dan ketika putrinya kembali berpamitan bersama Indra untuk berangkat ke acara fashionnya, Andini pun tak lupa mengatakan, “Sering-sering main ke sini, Nak Indra. Tante senang sekali melihatmu datang...”

Indra memberikan senyumnya yang selalu membuat sang ibu senang, dan mengangguk dengan penuh kesungguhan. Bukankah menyenangkan punya ibu mertua seperti itu?

Ketika sudah bersiap menghidupkan mesin mobil, Indra bertanya pada Febiola, “Sudah tidak ada yang ketinggalan?”

“Tidak ada.” Febiola menjawab.

“Yakin?” tanya Indra sambil tersenyum menatap wajah di sampingnya.

Febiola tertawa kecil. “Kenapa kau jadi ceriwis begitu?”

Indra pun menghidupkan mesin mobil sambil tertawa riang. “Aku cuma khawatir kau baru ingat sesuatu di tengah jalan, lalu minta pulang kembali untuk mengambil yang ketinggalan.”

“Tidak usah khawatir,” ujar Febiola meyakinkan. “Tidak ada yang ketinggalan. Termasuk hatiku.”

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 119)