Saat jarum jam menunjuk angka sembilan, dealer itu pun tampak mulai ditutup. Beberapa karyawan terlihat keluar dari sana, dan berdiri di depan pintu dealer. Ferry melihat Anisa di antara mereka.
Tiba-tiba hatinya terasa hangat. Air hujan yang mengguyur tak lagi dirasakannya. Dia hanya merasakan suatu kehangatan, rasa hangat di dasar hatinya, karena bisa menyaksikan orang yang paling dirindukannya.
Tanpa sadar Ferry menghidupkan mesin motornya untuk menemui Anisa, namun kemudian ia melihat Anisa menaiki becak yang sejak tadi berada di sana. Anisa terlihat melambaikan tangannya pada seorang kawannya, kemudian duduk dalam becak yang tertutup. Anisa sama sekali tak menyadari keberadaan Ferry.
Ferry terpaku. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya; seperti badai yang menerjang, seperti gelombang yang bergulung. Pandangannya mengikuti laju becak yang membawa Anisa menembus hujan, berjalan perlahan-lahan di bawah guyuran air, dan Ferry tahu... seseorang yang amat dicintai dan dirindukannya ada di sana.
Ferry mengusap air hujan yang terus turun membasahi wajahnya.
***
Keesokan paginya, seusai sarapan, Indra sudah bersiap akan pergi. Ferry dan ibunya masih duduk di meja makan. Ketika melihatnya keluar dari kamar dengan pakaian rapi, Silvia menegurnya, “Mau kemana lagi, Ndra?”
“Mau menemani Febiola, Ma,” jawab Indra. “Dia ada acara fashion hari ini.”
“Pagi-pagi begini?” tanya Silvia tak percaya.
“Acaranya nanti siang, tapi dia ngajak ke tempat lain dulu.” Indra menjelaskan.
Setelah Indra berlalu, Ferry membuka suara, “Ma, siapa sih Febiola itu?”
“Teman Indra,” jawab Silvia. “Kau tidak kenal?”
“Ya kenal. Dulu pernah bertemu di rumah sakit, tapi saya tidak ingat lagi.” Ferry lalu bertanya, “Apa mereka pacaran?”
Silvia tersenyum melihat Ferry yang tampak berharap. “Mama tidak tahu, Fer,” jawabnya kemudian. “Dulu Febiola kadang datang ke rumah waktu Indra sakit, tapi sekarang jarang muncul.”
Jadi rupanya perempuan itu pernah datang ke rumah, pikirnya. “Mereka benar-benar tidak pacaran?” tanya Ferry lagi.
Sekali lagi ibunya tersenyum. “Tidak. Dulu Mama pernah tanya ke Indra, tapi dia lebih memilih Anisa...”
Ferry segera saja terdiam.
“Fer,” kata ibunya kemudian, “tadi malam kau menemui Anisa?”
Ferry menggelengkan kepala. “Rencananya begitu, tapi Indra juga kesana.”
Silvia mendesah perlahan.
Seperti tahu yang tengah dipikirkan ibunya, Ferry lalu menuturkan, “Ma, kemarin Febiola entah siapa itu menelepon saya, Mama ingat? Cewek yang menelepon pagi-pagi itu.”
Ibunya mengangguk.
Ferry melanjutkan, “Febiola memberi tahu, kemarin malam dia menemukan Anisa sedang kesakitan di depan tempat kerjanya yang sudah tutup. Lalu Febiola mengantarnya pulang. Menurutnya, Anisa tampak kesakitan sekali. Itulah kenapa tadi malam saya bermaksud kesana, untuk memastikan Anisa baik-baik saja...”
Sekali lagi Silvia mendesah perlahan, kemudian berkata dengan sama perlahannya, “Fer, Mama tahu perasaanmu. Mama bisa memahami yang kaurasakan. Kalau bisa, Mama pun ingin kau dapat melanjutkan hubunganmu dengan Anisa seperti dulu. Tapi... Mama benar-benar bingung mengurusi persoalan ini. Indra juga tidak mau mengalah. Dia juga tetap menginginkan Anisa...”
Ferry berkata, “Ma, jujur saja, saya merasa tersiksa dengan semua ini. Saya kan pacar Anisa. Kami belum pernah putus, juga tidak ada masalah apa-apa yang menyebabkan bubarnya hubungan kami. Jadi, mengapa saya tidak bisa menemuinya?”
“Fer,” kata Silvia, “jangan lupakan Indra. Dia juga berpikir sama sepertimu.”
“Tapi hubungan pertunangan itu kan sudah dibatalkan, Ma,” Ferry masih bersikukuh. “Indra sekarang tak punya hubungan apa-apa dengan Anisa.”
Ibunya menjawab, “Pertunangan itu dibatalkan karena Anisa menenggang pada perasaanmu. Tetapi itu bukan berarti Indra sudah tak merasa punya hubungan lagi dengan Anisa. Dia juga mencintai Anisa seperti kau mencintainya.”
“Mengapa sih harus ada pertunangan itu?” tanya Ferry dengan ekspresi kesal.
Tetapi ibunya hanya menepuk-nepuk tangannya dan menjawab lembut, “Mengapa sih dulu harus pakai acara tukar tempat itu...?”
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 117)