Ferry kembali menatap jam dinding. Jarumnya terus bergerak. Ia mengkhawatirkan Anisa, dan lebih dari itu, ia merasa sangat merindukannya. Sudah berapa lama dia tak bertemu Anisa? Seminggu? Sebulan? Ferry merasakannya satu abad atau satu milenium.
Jarum jam terus bergerak. Waktu terus merambat. Ferry akhirnya bangkit dari tempat tidurnya dan bertekad untuk menemui Anisa. Dia masuk ke garasi, membuka pintunya, dan mengeluarkan sepeda motornya. Sesaat kemudian, ia telah melaju meninggalkan rumahnya, merasakan hawa dingin udara mendung.
***
Ketika mendengar pintu garasi terbuka dan suara motor Ferry keluar, Indra langsung meloncat dari tempatnya. Pasti si pengacau itu! Jadi mungkin inilah jawaban mengapa Ferry tadi pagi bertanya soal Febiola, pikirnya, dan dia telah mengambil kesimpulan ini pasti berhubungan dengan Anisa.
Indra pun berlari memasuki garasi, dan tanpa pikir panjang langsung mengeluarkan mobilnya. Langit tampak gelap. Dia harus buru-buru.
Ketika Indra sudah duduk dan akan menghidupkan mesin mobil, ibunya muncul dan mendekatinya.
“Mau kemana, Ndra?” tanya Silvia dengan tatapan tidak enak.
“Menyusul Ferry,” jawab Indra singkat sambil menghidupkan mesin mobil.
Silvia mendesah dengan khawatir, tapi Indra tak melihatnya karena telah melaju bersama mobilnya.
Ketika dia membawa mobilnya dengan cepat melaju di jalanan, matanya mulai menangkap sosok Ferry yang juga masih melaju di depannya. Rupanya dia benar-benar akan menemui Anisa! Indra pun mempercepat laju mobilnya, tak peduli suara klakson yang memarahinya.
Ferry tampak melaju di tengah jalan, dan Indra segera mengambil posisi di kirinya. Laju dua kendaraan itu pun akhirnya berdampingan. Ferry kini menyadari Indra telah berada di sampingnya.
Indra membuka kaca mobil dan berteriak, “Kalau kau mencoba menemui Anisa, aku tak akan ragu menabrakmu!”
“Dia pacarku, brengsek!” maki Ferry dengan marah.
“Dia juga pacarku!” Indra tak mau kalah.
Ferry memacu motornya dengan cepat, dan Indra mengejar di belakangnya. Tapi hujan kemudian turun, tanpa gerimis yang terlalu lama. Di bawah guyuran hujan yang lebat dan jalanan yang menjadi licin, mau tak mau Ferry harus melambatkan laju motornya. Maka motor yang pada mulanya melaju kencang itu pun mulai melambat, dan Indra kini melaju di depannya. Ferry mengutuk saat menyaksikan Indra melaju mendahuluinya. Mengapa tadi aku tidak bawa mobil saja?
Indra sampai di dekat tempat kerja Anisa, tapi merasa ragu-ragu untuk mendekati dealer itu. Jam tangannya hampir menunjuk ke angka sembilan. Dealer itu sesaat lagi akan tutup. Indra memarkir mobilnya di tempat yang cukup dekat dengan dealer itu, namun tidak mendekatinya. Bagaimana pun juga dia telah melarang Ferry melakukan hal itu, dan dia tak mau konyol dengan melanggar ucapannya sendiri. Tetapi jika Ferry nanti benar-benar terlihat mendekati dealer itu, Indra merasa tak akan ragu menabraknya.
Ferry muncul tak lama kemudian, dan melihat mobil Indra yang parkir tak jauh dari dealer Anisa. Jadi dia tidak melanggar ucapannya sendiri, pikir Ferry sambil mencari tempat yang bisa digunakan untuk berteduh. Dia juga tidak akan mendekati tempat kerja Anisa selama Indra tetap menjaga jarak dengan tempat itu. Tetapi jika Indra mencoba mendekat kesana, Ferry tak akan ragu berperang dimana pun.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 116)