“Siapa, Ma?” tanyanya.
“Tidak tahu,” jawab ibunya. “Mungkin teman kuliahmu dulu.”
Ferry pun beranjak dari tempatnya, dan menuju meja telepon. Indra mungkin juga sedang berada di kamarnya.
“Halo,” sapa Ferry saat handel telepon telah diangkatnya.
“Halo, Ferry?” terdengar suara yang asing di seberang sana.
“Ya, siapa ini?”
“Ini benar Ferry?”
“Ya, ini benar Ferry. Siapa ini?”
“Ini Febi, Fer.” Suara itu menyebutkan namanya.
“Siapa...?” Segera pikirannya mengaduk-aduk memori dalam otaknya dan mencari-cari nama Febi.
Suara itu kembali berkata, “Febi. Febiola. Ingat...?”
Sekali lagi Ferry mengaduk-aduk memori dalam otaknya dengan semakin cepat untuk mencari nama itu, namun tetap tak tertemukan. “Maafkan aku, tapi aku tidak ingat,” ucapnya kemudian. Febiola? Apakah nama itu telah terhapus dari memorinya akibat amnesia?
Suara di seberang sana terdengar tertawa kecil. “Masih ingat waktu kau mengantarkan pacarmu ke rumah sakit dulu, kemudian kau bertemu dengan seorang cewek yang lalu meminta nomor ponselmu? Ingat...?”
Sekarang Ferry memperoleh gambaran yang agak. Sebuah gambaran yang pernah diingatnya tentang suatu waktu, saat ia mengantarkan Anisa ke rumah sakit dari kampus, dan kemudian bertemu dengan seorang gadis cantik yang menyangkanya Indra. Lalu mereka berkenalan, dan gadis itu meminta nomor ponselnya, dan kalau tidak salah bernama... Febiola...?
“Oh ya, sekarang aku ingat,” kata Ferry kemudian. “Tapi... itu sudah lama sekali, kan?”
Sekali lagi Febiola terdengar tertawa. “Itu belum setengah abad, Fer. Itu baru setengah tahun yang lalu.”
“Oh ya, ya...” kata Ferry akhirnya. “Nah, apa kabar setelah setengah tahun?”
“Sebaik setengah tahun yang lalu. Kau?”
“Sama sepertimu,” ujar Ferry. “Aku sama sekali tidak menyangka kau akan meneleponku setelah setengah tahun...”
“Fer,” Febiola memulai, “tadi malam aku bertemu pacarmu. Kau tentu tahu tadi malam hujan lebat sekali, dan dia tidak bisa pulang karena tidak ada yang jemput...”
“Febi,” potong Ferry dengan bingung. “Kau ngomong apa? Siapa yang kau maksud?”
“Aku sedang ngomong tentang pacarmu, Fer. Anisa. Yang kerja di dealer ponsel itu. Oke? Paham?”
“Tapi... bagaimana kau tahu dia? Kau kenal Anisa?” Ferry masih bingung.
“Aku kenal dari Indra,” jawab Febiola.
“Jadi kau temannya Indra?”
“Katakan saja begitu, oke?” Febiola meringkas. “Nah, dengarkan, ini menyangkut pacarmu, Anisa, dan ini penting sekali.”
“Aku mendengarkan,” kata Ferry akhirnya.
“Nah, tadi malam saat aku melihatnya, dia tampak sedang kesakitan. Dia memegangi kepalanya, dan tubuhnya terlihat lemah sekali. Wajahnya juga sangat pucat. Aku bawa dia pulang, tapi keadaannya bukannya membaik tapi tampak makin buruk, sampai membuatku ketakutan setengah mati. Kami mampir ke kedai martabak, dia makan dan minum sebentar, lalu tenaganya mulai pulih dan wajahnya juga mulai segar lagi. Lalu kuantarkan pulang sampai ke rumahnya. Kau paham dengan ceritaku?”
“Ya,” jawab Ferry. “Sejak dulu dia memang kadang seperti itu.”
“Sejak dulu?” tanya Febiola heran. “Kau tahu dia sakit apa?”
“Anisa pernah terkena tipus,” kata Ferry yang masih ingat diagnosis dokter saat membawa Anisa ke rumah sakit dulu.
“Mungkinkah orang yang kena tipus sering mengalami gejala seperti yang dialami Anisa?” tanya Febiola lagi.
“Mungkin dia juga kena anemia,” jawab Ferry lagi.
“Fer, bukannya aku mau menakutimu, tapi kurasa mungkin ada suatu penyakit di kepala pacarmu itu. Semalam kulihat dia pucat sekali seperti sangat kesakitan. Itu bukan pusing atau sakit kepala biasa, Fer.” Suara Febiola terdengar sungguh-sungguh.
“Kau dokter?” tanya Ferry setelah mendengar diagnosa sok tahu itu.
“Aku fotomodel,” jawab Febiola dengan terkikik. “Tapi tetanggaku ada yang pernah menderita gejala seperti Anisa, dan dia ternyata menderita...”
“Apa?” tantang Ferry.
“Sebaiknya kau cari sendiri jawabannya,” jawab Febiola. “Yang jelas, dia pacarmu dan ini menyangkut pacarmu.”
Setelah meletakkan telepon kembali di tempatnya, Ferry merasakan kacau. Siapa sebenarnya yang barusan meneleponnya?
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 114)