“Kau butuh obat? Biasanya kau minum obat apa?” tanya Febiola.
“Aku tidak apa-apa, kok,” jawab Anisa lemah. “Aku cuma pusing tadi.”
“Sekarang masih pusing?”
“Agak berkurang. Tidak sepusing tadi.”
“Mungkin kau kena anemia,” kata Febiola dengan gaya sok tahu. “Biasanya orang-orang yang kena anemia menunjukkan gejala-gejala seperti itu. Berapa tensi darahmu?”
Anisa menggelengkan kepala. “Belum sempat ngecek.”
“Biasakan minum susu, makan sayuran dan buah-buahan,” kata Febiola makin sok tahu. “Juga daging...”
“Juga martabak,” sambung Anisa dengan senyum yang lemah.
Febiola pun tertawa kecil. “Kau benar-benar sudah tidak sakit?”
Anisa menggelengkan kepala. “Aku memang biasa seperti tadi.”
“Kau tidak pernah periksa ke dokter?”
Anisa menggeleng. “Paling cuma telat makan,” jawabnya kemudian.
Febiola memandangi wajah Anisa. “Mungkin ada yang tidak beres dengan kepalamu, eh, maksudku, mungkin ada suatu penyakit di kepalamu, kalau kau sering merasa pusing seperti itu.”
Anisa pun tersenyum kembali melihat ekspresi Febiola. “Tidak apa-apa, kok. Paling cuma pusing biasa.”
Febiola kemudian turun dari mobil, mengembalikan gelas pada si penjual martabak.
“Berapa, Bang?” tanyanya menanyakan harga teh.
Si penjual martabak hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
“Kita pulang sekarang?” tanya Febiola setelah kembali duduk dalam mobil.
Anisa mengangguk. “Aku sudah banyak merepotkanmu ya,” katanya kemudian dengan tidak enak.
Febiola hanya tersenyum. “Seperti yang kubilang tadi. Sedikit merepotkan, tapi tidak apa-apa. Nah, dimana rumahmu?”
“Nanti kutunjukkan sambil jalan,” jawab Anisa.
Febiola mulai melajukan mobilnya, menyusuri jalanan yang basah dari hujan yang belum juga reda. Anisa memandu arah menuju ke rumahnya.
Saat mereka bercakap-cakap dalam mobil malam itu, Anisa maupun Febiola sama-sama heran dengan diri sendiri. Anisa masih ingat bagaimana dia merasa tidak suka setiap kali melihat kehadiran Febiola ketika ia bersama Indra dulu, dan Febiola pun masih ingat kejengkelan serta antipatinya pada Anisa yang ia anggap sebagai batu penghalangnya menuju Indra. Tetapi sekarang mereka duduk berdampingan, bahkan sempat bercanda.
“Kok tadi kau bisa mendapati aku di sana?” tanya Anisa yang masih penasaran dengan hal itu. Apakah kau benar-benar keluar dari dasar bumi?
“Aku pas kebetulan lewat, mau pulang,” jawab Febiola.
Jadi kau bukan monster, pikir Anisa lagi.
Mereka memasuki komplek tempat tinggal Anisa, dan Febiola terus membawa mobilnya menuju ke rumah yang ditunjukkan Anisa. Kemudian berhenti tepat di depan rumah itu.
“Mau mampir dulu?” Anisa menawarkan.
“Trims,” jawab Febiola. “Sudah larut malam, aku harus cepat pulang.”
“Aku... terima kasih sekali atas pertolonganmu ini,” kata Anisa dengan tulus sambil menatap Febiola.
Febiola mengangguk, dan tersenyum.
Anisa turun dari mobil, dan Febiola pun melajukan mobilnya kembali meninggalkan rumah Anisa.
Pasti ada yang tidak beres dengan kepalanya, batin Febiola sambil membayangkan wajah Anisa.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 113)