Anisa mulai bangkit dari duduknya, dan Febiola pun baru menyadari betapa menderitanya sosok di hadapannya. Anisa terlihat kepayahan saat akan mengangkat tubuhnya sendiri, dan Febiola pun segera membantunya. Lalu dipapahnya Anisa menuju ke mobilnya. Tubuh mereka pun segera basah tertimpa guyuran hujan. Febiola membukakan pintu mobil, membantu Anisa masuk, lalu menutup pintunya kembali. Ia memutari depan mobil, masuk ke bagian sebelah dan segera duduk di samping Anisa dengan baju yang terasa makin basah. Febiola melihat Anisa menggigil.

“Kau pasti sakit sekali,” kata Febiola saat menghidupkan mesin mobilnya.

“Tidak apa-apa,” sahut Anisa lirih. “Sudah biasa, kok...”

“Sudah biasa...?” tanya Febiola terkejut. “Sakit... sudah biasa? Maksudku, kau sudah biasa mengalami sakit seperti ini?”

Anisa mengangguk lemah. Kini mereka mulai melaju menembus guyuran hujan.

“Dimana rumahmu?” tanya Febiola sambil terus melajukan mobilnya.

Anisa tidak menjawab. Febiola kembali mengulang pertanyaannya, dan sekali lagi Anisa tidak menjawab. Febiola memalingkan pandangannya sejenak dari jalanan di depan dan menengok ke sampingnya, dan seketika ia terkejut melihat wajah Anisa.

“Ya Tuhan, kau pasti sakit sekali!” ucapnya dengan terkejut.

Wajah Anisa sangat pucat, bibirnya gemetar, dan tubuhnya menggigil. Sakit apa sebenarnya yang tengah dideritanya? Febiola jadi ingat istri tetangganya yang akan melahirkan, dan ia menyaksikan wajah pucat yang sama. Pucat karena menahan rasa sakit yang luar biasa. Apakah cewek ini juga akan melahirkan, eh, maksudnya, apakah dia juga merasakan sakit sebesar itu?

Ketika mobilnya melewati sebuah kedai martabak, tanpa pikir panjang Febiola menghentikan mobilnya dan segera turun. Jangan sampai cewek itu mati di mobilku, pikirnya panik.

“Ada yang masih panas, Bang?” tanyanya pada si penjual martabak di kedai itu.

Si penjual martabak mengangguk dan segera menyiapkan satu martabak untuk dibungkus. Febiola buru-buru mengambil uang di dompetnya dan membayarnya.

“Oh ya, punya teh manis yang hangat?” tanya Febiola lagi. “Teman saya sakit, dalam mobil.”

Lelaki penjual martabak itu mengangguk kembali, masuk ke dalam, membuatkan teh hangat manis seperti yang diminta gadis itu, dan memberikannya dalam sebuah gelas. Febiola segera membawa gelas teh dan bungkusan martabak ke dalam mobilnya.

“Hei, kau belum pingsan, kan?” tanya Febiola pada Anisa yang kini duduk menyandar dengan wajah pucat dan tubuh yang tampak lemah.

Anisa membuka matanya. Pandangannya terasa kabur.

“Sebaiknya kau makan ini dulu,” kata Febiola sambil menyodorkan bungkusan martabak yang telah dibukanya.

Anisa seperti ragu-ragu saat akan mengambilnya, namun buru-buru Febiola tersenyum dan menjamin, “Aku tidak ngasih racun apa-apa ke martabak ini, jadi kau tidak perlu khawatir.”

Febiola semakin mendekatkan bungkusan martabak yang masih hangat itu, dan Anisa pun mulai mengulurkan tangannya. Anisa tahu biasanya sakitnya akan sedikit mereda jika sudah memakan sesuatu. Dikunyahnya irisan-irisan martabak itu dalam mulutnya. Satu demi satu. Febiola masih menyangga bungkusan martabak itu di depannya.

Setelah melihat Anisa merasa cukup, Febiola mengangsurkan gelas teh. Anisa meminum seteguk demi seteguk, merasakan cairan yang hangat dan manis itu mulai menghangatkan tenggorokannya, menghangatkan wajahnya.

“Mau lagi?” tanya Febiola sambil kembali menyodorkan bungkusan martabak.

“Kau tidak makan?” tanya Anisa.

“Aku masih kenyang,” jawab Febiola. “Tapi, ingin juga sih nyicipi martabak ini. Sepertinya enak.” Lalu diambilnya dua iris martabak dan dimakannya.

Anisa kembali mengambil irisan martabak itu dan kembali memakannya.

“Aku minta tehnya sedikit ya,” kata Febiola kemudian.

Tanpa sadar Anisa tersenyum melihat keceriaan di wajah Febiola.

Setelah meminum sedikit teh itu, Febiola kembali menyodorkannya pada Anisa. “Kau mau minum lagi?”

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 112)