Halilintar menggelegar. Secara spontan Febiola memelankan laju mobilnya. Jalanan yang licin dan hujan yang deras mengguyur membuatnya harus berhati-hati menjalankan mobilnya. Di saat itulah kemudian tanpa sengaja ia melihat ke sisi kanannya, dan menyaksikan sesosok perempuan yang sedang duduk menyandar di depan pintu besi sebuah toko sambil memegangi kepalanya. Hei, bukankah ini dealer tempat kerja cewek itu.

Febiola melihat jam digital di dasbor, dan waktu telah menunjukkan pukul 21:52. Apakah cewek tadi itu Anisa?

Febiola merasakan perasaannya tidak enak. Ini memang bukan urusannya. Lebih dari itu, dia juga tidak kenal perempuan itu—Anisa bahkan telah membuat jalannya menuju Indra terhambat, dan dia merasa antipati dengannya. Tapi saat melihatnya tadi dalam keadaan seperti itu, Febiola merasakan ada sesuatu yang mengusik dalam perasaannya. Bagaimana kalau itu benar-benar Anisa?

Febiola semakin bimbang, sementara mobilnya terus melaju. Ketika jarak yang telah ditempuhnya sudah cukup jauh dari dealer itu, ia semakin merasakan sesuatu yang mengusik dalam perasaannya. Seorang perempuan sendirian di bawah hujan lebat larut malam, dan sepertinya sedang kesakitan. Tak peduli itu Anisa atau bukan, ia merasa harus menolongnya.

Maka Febiola pun menghidupkan lampu sein, melihat kaca spion, kemudian mulai membelokkan mobilnya dan kembali menuju ke dealer tadi. Jaraknya sudah cukup jauh. Hujan masih deras mengguyur saat mobilnya sampai di sana, dan Febiola masih mendapati sosok tadi. Sosok itu masih terlihat kesakitan dan memegangi kepalanya.

Febiola turun dari mobil, dan tanpa menghiraukan air hujan ia segera mendekati sosok itu.

“Ya Tuhan, kau benar-benar Anisa!” Meski sudah sempat memikirkannya, dia masih juga terkejut saat menyadari sosok yang tengah kesakitan itu memang Anisa. Febiola melihat kedua matanya terpejam. “Apa yang terjadi denganmu?”

Anisa menyadari kehadiran seseorang di dekatnya, dan mulai membuka matanya. Dia melihat sesosok perempuan yang sepertinya pernah dilihatnya. Tapi dimana? Kepalanya yang terasa sangat sakit itu mengacaukan semua ingatannya.

“Kau kenapa?” tanya Febiola sambil berjongkok di hadapan Anisa. “Sakit?”

Anisa tak bisa menjawab, ia hanya dapat menganggukkan kepalanya.

“Tidak ada yang menjemputmu?” tanya Febiola lagi dengan serius. “Ferry? Indra?”

Sekarang Anisa ingat siapa perempuan ini. Dia pernah bertemu dengannya saat dulu menjenguk Indra yang sedang sakit. Siapa namanya? Kalau tidak salah ingat, namanya seperti Febi...Febiola? Ya, perempuan ini pula yang dulu pernah datang ke dealernya dan membeli sebuah ponsel mahal dengan kartu kredit itu.

Febiola yang melihat Anisa kesakitan segera mengambil keputusan. “Sebaiknya aku antar kau pulang sekarang. Kau pasti butuh istirahat.”

Anisa merasa ragu-ragu dengan tawaran itu. Apakah dia masih monster seperti yang dulu pernah dipikirnya? “Tidak perlu,” jawab Anisa kemudian.

“Tapi ini sudah larut malam,” sahut Febiola, “dan kau kelihatan sakit sekali.”

“Aku...tidak apa-apa.” Anisa masih memegangi kepalanya. “Tidak perlu diantar.”

“Kau takut aku menculikmu?” tanya Febiola sambil tersenyum, seperti tahu apa yang dipikirkan Anisa. “Tidak usah khawatir, aku tidak sehoror yang kaubayangkan, kok.”

Anisa melihat senyum itu. Juga mendengar ucapannya yang lucu. Tapi dia masih ragu-ragu. Dia tidak terlalu kenal dengannya, dan mengapa perempuan ini bisa tiba-tiba muncul di depannya seperti keluar dari dasar bumi?

“Kau tahu ini jam berapa?” tanya Febiola lagi. “Sudah hampir jam sepuluh. Kau akan kemalaman kalau tetap di sini. Ayolah, aku antarkan kau pulang. Kau tampak sakit sekali...”

Akhirnya Anisa pun mulai percaya setelah mendengar ucapan yang tulus itu. “Aku...tidak merepotkan?” tanyanya kemudian dengan lemah.

“Merepotkan sedikit,” ujar Febiola sambil masih tersenyum. “Tapi tidak apa-apa, kok. Ayo!”

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 111)