
Indra sendiri heran melihat Doni. Bagaimana dia tak pernah merasa bosan dengan kehidupan semacam itu? Doni seperti kuda liar yang tak pernah letih. Dari pagi sampai sore berada di lokasi syuting, lalu dari sore sampai pagi lagi ada di pesta atau di diskotik. Kapan dia tidur?
Indra sedang beranjak ke kamar mandi ketika ponselnya kembali berbunyi. Kali ini dari Dimas, manajernya.
“Halo, Dim?” sapa Indra.
“Ndra, barusan Bobby nelepon. Break dibatalkan,” kata Dimas di ponselnya. “Sore nanti syuting kembali dimulai karena peralatannya sudah selesai diperbaiki.”
Oh sialan, batin Indra. Padahal dia ingin beristirahat dengan tenang nanti malam.
“Dim, bisakah kau mengusahakan agar aku absen untuk hari ini saja?”
“Ndra, kau tahu sendiri bagaimana Bobby. Dia merasa kalau dirinya... hm, yang maha kuasa. Kalau kau sampai tidak datang, dia akan menganggap itu pembangkangan yang tak berampun.”
Mau tak mau Indra tertawa mendengar istilah Dimas untuk Bobby. Sutradara yang satu itu memang begitu.
“Baiklah, aku datang,” ujar Indra akhirnya. Lebih baik syuting daripada ikut pestanya Doni lagi, pikirnya.
“Bagus,” kata Dimas sebelum memutuskan hubungan.
***
Dua jam kemudian, saat Indra baru saja mandi dan sedang menikmati makan siang, Doni kembali menelepon.
“Bagaimana, Ndra? Bisa, kan, ikut nanti malam?”
Indra memaki dalam hati. Ampun nih orang, yang ada di kepalanya cuma pesta saja! “Break dibatalkan, Don,” jawab Indra kemudian. “Bobby tadi sudah manggil aku.”
“Yaah, sekali-sekali absen kan tidak apa-apa,” kata Doni kecewa.
“Itu sama saja menyerahkan leherku untuk dipotong Bobby!”
Doni tertawa. “Ndra, pasti ada yang salah dengan otak Bang Bob itu. Dia...dia seperti...yang maha kuasa!”
“Hahahaha...” Indra tak bisa menahan tawa mendengar Doni menyebut istilah yang sama dengan Dimas untuk Bobby. “Dia orang yang istimewa, Don.”
“Juga mengerikan!” sahut Doni yang juga sudah beberapa kali bekerja di bawah arahan sutradara itu.
“Tapi aku senang bekerja dengannya, Don,” kata Indra lagi.
“Semoga saja kau panjang umur,” jawab Doni sambil tertawa kecil. “Jadi, kau tidak bisa ikutan nanti malam?”
“Sori, deh. Aku lebih baik menentang perintahmu daripada menentang kehendak yang maha kuasa, kan?”
“Hahaha, baiklah kalau begitu.”
“Sampaikan salamku untuk teman-teman,” kata Indra sebelum mematikan ponselnya.
***
Di waktu yang sama, Bobby sedang mengerutkan kening di ruang kerjanya sambil memegangi selembar kertas memo dari bosnya. Memo itu baru saja disampaikan oleh manajer Matra Cinema yang berbisik, “Dari Bos.”
Memo itu berisi permintaan agar Bobby memasukkan seorang perempuan bernama Cintya ke dalam sinetron yang nanti sore akan syuting, dan perempuan itu akan datang ke lokasi syuting sore ini juga. Bobby mengusap dahinya yang lebar dan memaki kesal dalam hati. Dia memang tengah menggarap sinetron baru.
Tetapi sinetron ini sudah fixed, dan seluruh karakter tokoh pemerannya telah terisi. Kalau harus memasukkan satu orang lagi, dia akan memerankan apa? Lebih dari itu, siapa perempuan ini hingga bosnya harus menulis memo secara langsung dan meminta untuk memasukkannya?
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 12)