Hati yang Memilih Malam itu Anisa telah bersiap untuk pulang, tapi becak langganannya tidak ada di depan dealer. Anisa tahu ia harus mencari becak lain. Maka setelah pintu dealer ditutup, Anisa pun berdiri di trotoar menunggu becak yang akan lewat.

Berdiri seorang diri di sana, mau tak mau Anisa kembali teringat Ferry. Di saat awal hubungan mereka, Ferry tidak tahu Anisa bekerja di dealer ini. Satu minggu setelah Ferry menyatakan cinta kepadanya, Ferry berkunjung ke rumahnya pada malam Minggu. Tapi Anisa tidak ada, dan ia hanya diberitahu bahwa Anisa belum pulang kerja. Besoknya, di kampus, Ferry menanyakan hal itu. Anisa pun menjawab bahwa ia bekerja sepulang kuliah, dan baru pulang jam sembilan malam.

Sejak itulah, Ferry memulai kewajiban itu bagi dirinya sendiri. Setiap pulang dari kampus, Ferry akan mengantarkannya berangkat ke tempat kerja, dan setiap malam Ferry datang menjemputnya. Kadang-kadang, suatu waktu, mereka bertengkar dan saling marah karena hal-hal tertentu, namun Ferry tetap melakukan kewajiban itu. Ia tetap mengantar dan menjemput Anisa dari tempat kerjanya, meskipun selama perjalanan mereka hanya saling membisu. Dan sekarang Anisa mengenang saat-saat itu dengan senyum yang terasa getir. Saat-saat manis yang pernah dilaluinya bersama Ferry kini seperti kenangan yang berubah jadi sembilu.

Anisa menengok jam di tangannya, dan jarumnya telah menunjukkan pukul 21:20. Belum ada becak yang lewat. Anisa masih sabar menunggu. Tapi kemudian gerimis mulai turun. Semarang masih sering diguyur hujan karena sedang musim penghujan. Anisa merapatkan tubuhnya ke pintu besi di belakangnya, dan gerimis itu kemudian berubah menjadi hujan yang cukup lebat. Tapi becak yang ditunggu-tunggu belum juga ada yang lewat.

Anisa merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Ini bukan yang pertama kali. Akhir-akhir ini dia semakin sering merasakan sakit di kepalanya. Mungkin karena beban pikiran yang terlalu berat, pikir Anisa. Dan kini kepalanya juga terasa semakin berat. Anisa pun duduk merapat pada besi dealernya. Mungkin ia memang menderita anemia seperti yang dulu pernah dikatakan Indra. Ia belum punya waktu untuk memastikan tensi darahnya. Mungkin besok ia bisa datang ke puskesmas kalau dapat jatah libur. Anisa memegangi kepalanya yang semakin terasa berat. Mengapa setiap kali aku berdiri dan berpikir, kepalaku selalu jadi berat seperti ini?

Hujan terus mengguyur, dan guntur mulai bersahutan. Beberapa kali Anisa menutupi kedua telinganya ketika halilintar menggelegar.

Hujan semakin deras membasahi bumi.

***

Lima kilometer dari tempat Anisa terduduk kesakitan sambil memegangi kepalanya, Indra dan Febiola baru saja menikmati makan malam di restoran tempat mereka pertama kali makan malam berdua. Kini keduanya berjalan berdampingan, lalu menuju ke mobil masing-masing.

“Terima kasih untuk malam ini,” kata Febiola dengan manis. “Aku sangat menikmatinya.”

Indra tersenyum. “Aku juga.”

Lalu mereka berpisah. Indra memasuki mobilnya, dan Febiola mulai menjalankan mobilnya sendiri menembus hujan, keluar dari halaman parkir swalayan yang besar itu. Bibirnya menyunggingkan senyum senang.

Febiola terus melajukan mobilnya melewati jalanan yang basah oleh air hujan, dan wiper di depan terus-menerus bergerak menghapus air hujan yang turun membasahi kaca. Sekali lagi bibirnya tersenyum. Ia tahu, cepat atau lambat akan menikmati hal ini. Febiola yakin pada akhirnya Indra akan jatuh dalam pelukannya.

Saat tadi sore Indra menelepon ke ponselnya, dan mengajaknya makan malam. Febiola tak bisa menahan senyumnya mendengar ajakan itu. Ia tahu saat seperti itu pasti akan datang. Febiola menerima ajakan itu. Karena kebetulan malam ini ia harus belanja keperluannya di swalayan, Febiola pun minta bertemu di restoran tempat mereka pertama kali makan malam. Dan sekarang, pikir Febiola, semuanya akan menuju happy ending.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 110)