Hati yang Memilih
Karena melihat Indra dan Ferry terus-menerus mengobarkan peperangan, dan karena setiap kali mereka akan keluar rumah pasti salah satunya akan curiga, kedua orang tua mereka pun semakin pusing. Suasana seperti ini tentu tak bisa dibiarkan terus-menerus. Harus ada langkah penyelesaian. Harus ada upaya untuk gencatan senjata, bagaimana pun caranya.

Maka, suatu pagi, Silvia pun memutuskan untuk menemui Anisa secara pribadi di rumahnya, untuk membicarakan semua ini dengannya. Ia pun berharap mereka bisa menemukan suatu cara agar perang yang terus memanas itu bisa didinginkan.

Anisa membukakan pintu untuk Silvia dengan agak terkejut, karena tak menyangka akan dikunjungi. Ia mencium tangan Silvia, kemudian mempersilakannya masuk. Mereka duduk di ruang tamu, dan Anisa segera pergi ke dalam untuk mengambilkan minum.

“Maaf kalau kedatangan Ibu mengejutkanmu, Anisa,” kata Silvia setelah Anisa duduk di hadapannya. “Ibu harus menemuimu karena di rumah Ibu keadaan semakin menuju perang besar...”

Anisa mengangguk. Ia pun bisa membayangkan apa yang kini terjadi pada Indra dan Ferry. “Saya merasa sangat bersalah, Bu,” katanya kemudian. “Sayalah yang menyebabkan semua ini terjadi...”

“Kau tentu tidak bersalah apa-apa, Anisa,” ujar Silvia. “Siapa yang menyangka kalau semuanya akan berakhir seperti ini? Ibu bahkan dulu bersyukur kau mau menerima Indra, karena Ibu sangat ingin punya menantu sepertimu.”

Anisa tersipu. Silvia melanjutkan, “Tapi sekarang semuanya jadi tidak karuan. Ferry merasa lebih berhak atas dirimu, karena hubungan kalian belum pernah putus, dan Ferry juga masih mencintaimu. Sementara Indra juga merasa memiliki hak yang sama, karena kalian telah bertunangan...”

“Bu, saya memahami persoalan ini tentunya harus segera diselesaikan agar tidak terus berlarut-larut. Saya mengerti Ferry dan Indra tentunya sama-sama merasa tersiksa dengan apa yang terjadi sekarang, sebagaimana saya pun merasakan hal yang sama.” Setelah terdiam sejenak, Anisa melanjutkan, “Saya tentu tak bisa memilih salah satu di antara mereka, karena saya pun menyadari saya tak dapat memilih salah satunya. Bu, bagaimana kalau saya sama sekali tak memilih satu pun di antara mereka...?”

Silvia menatap Anisa dengan bingung. “Kau tidak akan memilih satu pun di antara mereka...?”

“Saya tentu tak bisa memilih Ferry karena itu akan menyakiti Indra,” ujar Anisa. “Saya juga tak bisa memilih Indra karena itu jelas akan membuat Ferry menderita. Jadi, apakah Ibu akan mengijinkan kalau saya...mm...meminta hubungan pertunangan saya dengan Indra... di... dibatalkan...?”

Silvia terdiam mendengar pertanyaan itu. Ditatapnya wajah Anisa yang tampak tertekan, dan dia bisa memahami perasaan dan kekacauan pikiran gadis itu. Silvia lalu menjawab, “Kau tentu punya hak untuk itu, Anisa. Kau punya hak untuk melanjutkan atau membatalkan pertunangan itu. Tapi, apakah kau benar-benar telah memikirkan keputusan ini?”

“Bu,” Anisa menjelaskan, “hubungan yang saya jalin bersama Ferry hanya sebatas hubungan saling mencintai. Di antara kami belum ada ikatan apa-apa seperti ikatan yang telah menyatukan saya dengan Indra. Kalau pertunangan ini diteruskan, saya merasa pada akhirnya saya tetap harus memilih Indra karena ikatan yang ada lebih kuat dibanding ikatan perasaan cinta antara saya dengan Ferry. Tetapi Ibu juga tahu saya tak mungkin mampu memilih Indra sementara saya tahu Ferry akan tersiksa dengan pilihan itu. Lebih dari itu, saya memang tak mampu untuk memilih salah satu di antara mereka...”

Dengan perasaan terharu, Silvia memeluk Anisa dalam dekapannya, dan dengan suara parau ia berkata, “Kau tentunya tahu Ibu akan merasa sangat kehilanganmu, Anisa.” Anisa membalas pelukan itu, dan Silvia melanjutkan, “Jadi, kau benar-benar memutuskan untuk membatalkan pertunangan itu?”

“Saya pikir itu jalan yang terbaik, Bu...” jawab Anisa.

“Kau memang berhak untuk memutuskan,” kata Silvia akhirnya. “Dan apapun keputusan yang kaupilih, Ibu berharap itu jadi pilihan yang terbaik untukmu.”

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 108)