Hati yang MemilihFerry semakin erat menggenggam tangan Anisa, tak mampu berkata apa-apa, karena dia pun tengah tersiksa oleh perasaannya sendiri. Dengan perasaan tak karuan, ditatapnya wajah Anisa yang kini basah oleh air mata. Anisa menjatuhkan kepalanya di tangan Ferry, menangis di sana, dan Ferry merengkuhnya.

“Kau tahu aku sangat merindukanmu, Nis...” bisik Ferry tertahan.

“Kau juga tahu bagaimana hatiku, Fer,” jawab Anisa sambil terisak. “Aku... aku tak pernah bermimpi menggantikanmu... Aku...” dan tangisnya pecah kembali.

Ferry semakin erat memeluk kepala Anisa dalam rengkuhannya. Dia tahu tak akan mampu berpisah apalagi ditinggalkan perempuan ini. Dia cinta pertamanya, dia kekasih sejatinya.

***

Tiga hari kemudian, Indra yang datang mengetuk pintu rumah Anisa. Anisa telah mampu mengendalikan diri dari pengaruh pertemuannya dengan Ferry yang sangat emosional, dan kini membukakan pintu dengan wajah yang biasa.

“Apa kabar, Nis?” sapa Indra dengan senyumnya.

“Baik.” Anisa membawa Indra duduk di ruang tamu, persis seperti yang ia lakukan pada Ferry tiga hari sebelumnya. 

Berbeda dengan Ferry, Indra lebih mampu mengendalikan diri. Dia duduk dengan tenang, dan berbicara dengan lebih tenang.

Indra berkata, “Maafkan kalau apa yang terjadi saat ini sangat membebani pikiranmu.”

“Aku mengerti,” kata Anisa. “Siapa yang menyangka kalau akhirnya akan seperti ini?”

Indra mendesah perlahan, kemudian berkata seperti pada dirinya sendiri, “Apa yang kulakukan dengan Ferry dulu itu mungkin memang benar-benar bodoh...”

“Juga mungkin apa yang telah kita lakukan,” sambung Anisa dengan lirih.

Indra menatap Anisa. “Kau tidak bermaksud mengatakan kalau kau menyesali hubungan pertunangan kita, kan?”

Anisa tersenyum letih. “Ndra, aku tidak pernah menyesali apa yang telah terjadi pada kita, sebagaimana aku pun tak pernah menyesal mencintaimu. Tapi...ah, entahlah...” Anisa menunjukkan wajah yang tertekan dan kebingungan.

Indra bangkit dari duduknya, lalu mengambil tempat di dekat Anisa. “Aku tahu kau pasti sangat tertekan dengan semua yang tengah terjadi ini...”

Anisa mengangguk lemah. “Aku juga tahu kau merasakan perasaan yang sama, Ndra,” katanya kemudian.

“Aku mencintaimu, Nis,” bisik Indra. “Aku mencintaimu, karena kupikir...aku tidak merebutmu dari siapapun, termasuk dari Ferry... ”

Indra menghela napas, kemudian melanjutkan, “Tapi sekarang aku harus bersaing dengan saudaraku sendiri untuk tetap mempertahankanmu... Aku menyadari Ferry yang pertama hadir dalam hidupmu, tapi aku juga menyadari tak mungkin mampu merelakanmu kepada siapapun, termasuk pada Ferry. Bahkan sekarang aku pun seperti baru menyadari kalau aku mencintaimu lebih besar dari yang semula kubayangkan...”

Anisa menatap wajah Indra yang tampak tertekan dan tersiksa. “Takdir memang bermain dengan cara yang misterius, Ndra,” bisik Anisa dengan parau.

“Ya, dan kita seperti tak berdaya di tangannya...”

***

Pagi itu Indra menerima telepon dari Dimas melalui ponselnya. Sebenarnya, ponsel yang sekarang dipegangnya adalah milik Ferry, karena ponsel miliknya sendiri dulu dibawa Ferry ke Jakarta dan kemungkinan sudah hancur ketika kecelakaan itu. Ferry juga merasa tak enak untuk meminta kembali ponsel itu karena ia sendiri telah menghilangkan ponsel milik Indra. Ferry telah menggantinya dengan ponsel yang baru, dan membiarkan Indra masih menggunakan ponsel miliknya.

“Halo, Dim,” sapa Indra.

“Ndra!” suara Dimas terdengar ceria. “Senang sekali bisa kembali mendengar suaramu! Tapi ini benar Indra, bukan Ferry?”

“Aku juga senang kau meneleponku,” sahut Indra. “Ini benar-benar Indra. Bagaimana kabarmu?”

“Seperti biasa, selalu baik,” jawab Dimas. “Kau...?”

“Aku lagi pusing memikirkan apa yang harus kulakukan setelah ini, Dim,” Indra menjawab. “Kau tentu tahu bagaimana berita di televisi dan koran-koran...”

“Tentu saja,” sahut Dimas. “Aku sudah beberapa kali menghubungi nomor telepon rumahmu, tapi tak pernah ada yang mengangkat.”

“Keluargaku sekarang mengungsi ke rumah kami yang lain, karena wartawan tak pernah berhenti berdatangan.”

Dimas tertawa. “Kejadian itu benar-benar jadi iklan gratis buatmu, ya!”

Indra pun menjawab dengan tawanya. “Juga menjadi bencana bagi keluargaku!”

“Ndra, seharusnya kau sudah kembali ke Jakarta,” lanjut Dimas. “Kau akan terkejut kalau tahu berapa banyak tawaran sinetron dan iklan yang datang untukmu setelah kejadian ini...”

“Aku masih bingung, Dim.”

“Kapan kira-kira kau akan kembali ke sini?”

“Aku belum bisa memastikan. Di sini pun aku masih menghadapi persoalan berat.”

“Tapi kau harus kembali, Ndra,” kata Dimas menegaskan. “Duniamu ada di sini.”

“Aku tahu, tapi saat ini aku belum bisa memutuskan.”

“Katakan bahwa kapan pun kau pasti akan datang,” harap Dimas.

“Aku juga tak bisa memberikan kepastian semacam itu...”

Saat sedang bercakap-cakap dengan Dimas, Indra melihat Ferry menyelinap ke ruang garasi dan mengambil sepeda motor yang biasa digunakannya. Indra buru-buru memutuskan hubungannya dengan Dimas, dan segera mengejar Ferry ke ruang garasi.

“Mau kemana kau?!” tanyanya dengan galak.

Ferry menjawab dengan sama galaknya, “Bukan urusanmu!”

“Tentu saja urusanku kalau kau mencoba menemui Anisa!” kata Indra ketus.

“Siapa yang akan menemui Anisa?!” Ferry menjawab dengan sama ketusnya.

Indra masih menatap Ferry dengan tatapan curiga, namun akhirnya dia mengangkat bahu. Dia nanti bisa mengeceknya langsung ke rumah Anisa. Kalau memang Ferry menemui Anisa, Indra tak akan ragu mengobarkan peperangan di sana.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 107)