“Ma,” potong Ferry lagi. “Tolong beri saya kesempatan satu kali saja untuk bertemu dan berbicara dengan Anisa. Saya telah berpisah dengannya selama setengah tahun, Ma, setengah tahun! Dan sekarang saya telah kembali, tapi sama sekali belum pernah berbicara dengannya...” Ekspresi wajah Ferry tampak nelangsa.
Silvia mendesah dengan letih. Muladi, ayah mereka, yang semenjak tadi diam kemudian angkat bicara, “Baiklah, mungkin memang keterlaluan kalau Ferry tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk menemui Anisa. Bagaimana pun juga, dia toh tetap pacarnya...”
“Pa!” Indra langsung memotong. “Tapi sekarang saya sudah menjadi tunangan Anisa!”
“Iya, Papa tahu, Ndra, Papa masih ingat,” jawab sang ayah. “Tapi coba bayangkan perasaan Ferry, dan berikanlah sedikit pengertianmu untuknya, Ndra...”
“Tapi...” Indra menyela lagi.
Muladi terus melanjutkan, “Biarkan Ferry menemui Anisa satu kali seperti yang dimintanya. Toh hanya satu kali...”
“Itu tidak adil buat saya, Pa!” ujar Indra dengan jengkel. “Saya telah menjadi tunangannya tapi saya tidak boleh lagi bertemu, sementara Ferry diijinkan untuk bertemu!”
“Ndra, ini kan cuma sekali...” kata sang ayah.
“Kalau begitu saya juga harus diijinkan untuk bertemu!”
Kedua orang tua mereka pun akhirnya memutuskan untuk memberikan kesempatan satu kali bagi mereka masing-masing untuk menemui Anisa, dengan catatan penting dari ibu mereka, “Jangan melakukan apa-apa yang bisa semakin mengacaukan pikirannya. Beban pikiran Anisa sudah terlalu berat, dan Mama tidak ingin kalian tambah menyiksanya.”
Kedua saudara kembar itu akhirnya menyetujui kesepakatan itu meski dengan berat hati. Indra dan Ferry sepertinya masih belum terima, namun mereka sama-sama tahu keputusan itu sudah cukup baik dan bijak.
***
Seperti yang telah disepakati, keesokan paginya Ferry datang berkunjung ke rumah Anisa. Anisa telah dihubungi oleh Silvia, dan diberitahu bahwa Ferry akan datang hari ini.
Saat membukakan pintu untuk Ferry, Anisa tampak tersenyum dengan kaku. Betapa pun juga, mereka telah berpisah selama setengah tahun, dan Anisa benar-benar yakin Ferry telah tiada.
“Hei,” sapa Ferry dengan suara parau menahan perasaannya.
Anisa menjawab sapaan itu dengan sama paraunya, lalu mempersilakan Ferry masuk, dan mereka pun duduk berhadapan di ruang tamu.
“Kau sudah tahu siapa aku, kan?” tanya Ferry.
“Ya, kau Ferry.” Anisa mengangguk. “Ibu tadi sudah memberitahu.”
Ferry merasakan suatu kepedihan dalam hatinya. Ini bukanlah sambutan seseorang pada kekasihnya. Tidak ada ekspresi rindu. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada dekapan erat. Ya, kau Ferry. Hanya itukah yang diterimanya dari kekasihnya setelah setengah tahun tak bertemu? Ferry merasakan hatinya pedih.
Seperti tahu apa yang tengah dirasakan Ferry, Anisa kemudian bangkit dari kursinya lalu duduk di dekat Ferry dan menyentuh tangannya. “Fer,” katanya pelan sambil menggenggam tangan Ferry, “aku minta maaf atas semua yang terjadi ini. Aku...aku sama sekali tak tahu kalau...kalau...”
“Aku tahu,” bisik Ferry menghentikan kebingungan Anisa. Ferry menggenggam jemari yang ada di tangannya, dan merasakan kelembutan yang pernah ia miliki dulu, yang pernah ia genggam dulu. “Aku tak pernah menyalahkanmu.”
“Semuanya terjadi begitu cepat bagiku,” kata Anisa lagi, “dan aku... aku seperti tak menyadari apa yang kemudian terjadi... Semuanya... semuanya...” Anisa tak mampu melanjutkan ucapannya karena kemudian butiran bening mengalir dari matanya tanpa mampu ia tahan.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 106)