“Ibu tahu masalah ini sangat membebani pikiranmu, Anisa,” ujar Silvia dengan prihatin. “Ibu juga tahu ini sungguh berat bagimu.”
Anisa tak menjawab. Ia masih sibuk dengan rasa sakit di kepalanya.
Silvia kemudian mengambil balsam dan memberikannya pada Anisa. “Mungkin ini bisa meredakan sakit kepalamu.”
Anisa menerima balsam itu dan membalurkannya di pelipisnya yang terasa tertusuk ribuan duri. Balsam yang hangat itu pun dirasakannya mulai meresap ke pori-porinya, namun rasa sakit di kepalanya masih terasa.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka dan Indra serta Ferry berdiri di sana dengan saling menatap galak. Tangan mereka sama-sama membawa bungkusan. Silvia bangkit dan mengambil bungkusan di tangan mereka tanpa berkata apa-apa, lalu kembali menutup pintu.
Silvia membuka kedua bungkusan itu, mendapati satu bungkusan nasi yang masih hangat dengan masakan yang tampak lezat, sementara bungkusan lainnya berisi roti dan kue-kue yang terlihat enak. Dia mengeluarkan bungkusan roti dari plastiknya, dan menyodorkannya pada Anisa.
“Makanlah ini dulu, agar badanmu tidak terlalu lemas,” katanya.
Anisa kembali mencoba mengangkat tubuhnya dari tempat tidur. Dengan dibantu Silvia, Anisa pun dapat duduk menyandar pada bantal. Dia menerima kotak roti yang disodorkan kepadanya.
“Ada nasi juga,” kata Silvia. “Kau ingin roti atau mau makan nasi?”
“Ini saja,” jawab Anisa lemah, “mulut saya rasanya pahit sekali.”
Anisa mulai memakan roti yang entah dibawakan siapa, sementara Silvia menyiapkan minum untuknya. Saat Anisa telah merasa cukup, Silvia menyodorkan minum sambil tersenyum. “Seharusnya kau beruntung, Anisa. Dua-duanya penuh perhatian kepadamu.”
Anisa hanya tersenyum lemah.
Silvia melanjutkan, “Ya, seharusnya kau beruntung kalau saja keadaannya lain, tidak seperti ini. Tapi sekarang, kau tentunya kesulitan untuk bisa menentukan salah satu di antara mereka untukmu.”
Anisa menjawab perlahan, “Saya bukan hanya bingung menentukan hal itu, Bu, saya bahkan tidak tahu mana yang Indra dan mana yang... Ferry.”
Silvia menyentuh tangan Anisa, dan berkata lembut, “Kau masih mencintai Ferry, Anisa?”
“Saya sangat mencintainya, Bu, dia cinta pertama saya...” jawab Anisa membalas tatapan Silvia.
“Dan Indra...?”
Kali ini Anisa menundukkan kepalanya. “Saya... saya juga mencintainya...”
***
Sejak kepulangan Ferry, jadwal harian Indra yang biasa mengantar dan menjemput Anisa dari tempat kerja pun dihentikan. Kedua orang tuanya dengan tegas melarang Indra maupun Ferry untuk mendekati Anisa.
“Biarkan Anisa terbebas dulu dari kalian,” kata Silvia. “Biarkan dia sendirian dulu untuk menenangkan dan menjernihkan pikirannya. Urusan kalian berdua membuat Anisa shock dan sangat bingung...”
“Ma,” Ferry menyela, “ini sungguh tidak adil! Sejak saya pulang ke rumah, saya sama sekali belum pernah berbicara dengan Anisa, padahal dia pacar saya!”
Indra langsung nimbrung dan menatap galak pada saudara kembarnya. “Gara-gara kau, Anisa jadi terlantar! Seharusnya aku tetap bisa mengantar dan menjemputnya!”
“Itu urusanku, Ndra! Akulah yang sejak dulu melakukan hal itu!” teriak Ferry.
“Tapi itu telah menjadi urusanku sekarang!” balas Indra. “Dia telah menjadi tunanganku!”
Setiap kali mendengar kata ‘tunanganku’, darah Ferry seperti langsung mendidih. Indra tahu bahwa senjata itulah yang selalu mampu membungkam saudara kembarnya. Ferry cuma sekadar pacarnya, dan dialah yang telah bertunangan dengan Anisa; dialah tunangannya.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 105)