Hati yang MemilihKarena merasa gatal dengan hasratnya yang terasa sangat menggebu, Johan mengangkat telepon di meja dan menghubungi kantor percetakannya, menanyakan waktu selesainya cetakan tabloid mereka.

“Seperti biasa, Bos. Tiga hari lagi,” jawab petugas di percetakan. “Sabtu sore sudah masuk ke pasar.”

“Kalau bisa, aku ingin itu dipercepat, Gun!” kata Johan dengan bernafsu. “Aku sudah tak sabar melihatnya terbit dan menciptakan kegemparan!”

“Bos,” sahut si petugas percetakan, “sebaiknya Anda sekarang menonton televisi.”

“Aku tidak perlu membuang waktu untuk nonton televisi!” sahut Johan dengan pedas. “Aku sudah terlalu sibuk dengan kerjaku!”

“Tapi Anda pasti suka kalau melihat televisi sekarang.”

“Apa maksudmu?”  

“Sebaiknya Anda melihatnya sendiri, Bos!”

Johan pun membanting telepon, lalu keluar dari ruang kantornya. Di ruang depan terpasang sebuah pesawat televisi, namun dalam keadaan mati karena semua reporter yang biasa menonton di sana sedang keluar. Johan mengambil remote control, lalu menyalakan televisi. Tanpa harus mengecek semua channel, Johan sudah mendapatkan apa yang dimaksud oleh petugasnya di percetakan.

Semua siaran televisi tengah memberitakan sesuatu yang tiga hari lagi akan dimuat di tabloidnya.

Johan duduk terkulai dengan remote control di sampingnya. Seluruh semangatnya yang tadi menggebu kini padam seketika. Tabloidnya yang akan terbit tak akan membawa apa-apa selain hanya berita basi sekaligus konyol. Tabloidnya hanya memberitakan pertukaran tempat yang dilakukan Indra dan saudara kembarnya, sementara televisi menyiarkan berita yang lebih lengkap, bahwa si saudara kembar masih hidup. Kegemparan yang diimpikannya telah didahului televisi, dan tentunya juga koran-koran hari ini.

Johan merasa tulang-tulangnya dilolosi. Orgasme yang dirindukannya kini berakhir dengan ejakulasi yang prematur. Ia mengutuk Febiola. Perempuan itu benar-benar sundal!

***

Pagi itu, Indra dan Ferry duduk di ruang tengah dengan muka yang masam, sementara ibu mereka menelepon Anisa.

Silvia meminta Anisa datang ke rumah mereka, dan Anisa pun berjanji untuk segera datang.

Sejak tadi malam Anisa menyaksikan televisi, dan dia pun sudah tahu kalau ternyata Ferry masih hidup.

Saat bel pintu rumah mereka berbunyi, Ferry dan Indra sama-sama bangkit dari duduknya. Namun buru-buru ibu mereka berkata dengan tegas, “Kalian tetap di sini. Dan jangan keluar sebelum Mama minta!”

Indra dan Ferry kembali terjatuh di tempat duduk mereka, dan merasa gelisah luar biasa.

Silvia keluar dari ruang tengah dan menuju ke depan untuk membukakan pintu. Anisa tampak berdiri di depan pintu dengan ekspresi bingung, namun tersenyum sopan saat melihat Silvia menyambutnya.

Silvia membawa Anisa untuk duduk di sampingnya, di kursi panjang di ruang tamu.

Setelah Anisa duduk tenang, Silvia pun memulai pembicaraan mereka. “Anisa,” katanya, “ada sesuatu yang penting yang membuat Ibu mengundangmu kemari. Kau juga tentu sudah tahu, ya? Kau tentu telah melihatnya di televisi...”

“Iya, Bu.” Anisa mengangguk.

“Ibu benar-benar bingung menghadapi hal ini.” Silvia mendesah dan menatap wajah Anisa. “Dan ini menyangkut dirimu, Anisa. Ibu harap kau bisa menghadapi hal ini.”

Anisa menunjukkan wajah yang bingung. Dia tidak tahu dimana sekarang Ferry berada, namun dia pun tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya.

Silvia kemudian menyentuh tangan Anisa. “Kau harus melihatnya. Kaulah yang harus menentukan...”

Anisa menurut saat dibawa masuk ke ruang tengah. Di sana Indra dan Ferry masih duduk berjauhan. Dan saat menyaksikan keduanya tengah menatapnya, Anisa tak mampu lagi menguasai diri. Dia tidak tahu mana yang Ferry dan mana yang Indra. Dia tak dapat berkata apa-apa. Anisa terkulai pingsan.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 103)