Hati yang MemilihFerry yang sudah kalap segera menerjang ke arah Indra dengan kemarahan yang jelas tampak di matanya. Ayahnya segera menarik dan memeganginya. Sementara Indra yang masih mampu mengendalikan diri, kini terduduk kembali karena dipegangi ibunya yang menangis.

“Pokoknya aku minta pertunangan itu dibatalkan!” Ferry kembali berteriak. Kali ini suaranya parau karena amarah dan kesedihan.

“Aku tidak akan melakukannya!” jawab Indra dengan pasti.

Sejak tadi kedua orang tua mereka yang menyaksikan pertengkaran itu hanya diam karena juga bingung untuk menentukan apa yang harus dilakukan. Siapa yang harus dibela? Siapa yang harus dibenarkan dan disalahkan? Kedua putra mereka merasa memiliki hak, dan kalau masing-masing dari mereka menuntut haknya, hak siapa yang harus diberikan...?

Muladi yang masih memegangi Ferry kemudian berkata perlahan, “Sudah, Fer. Kau toh tidak bisa marah-marah terus begitu pada Indra, karena dia sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi selama kau tidak ada.”

“Tapi sekarang saya sudah ada, Pa!” jawab Ferry kukuh.

“Ya, kau sudah ada,” tanggap ayahnya, “dan kita bisa membicarakannya dengan lebih baik dan lebih dingin, kan?”

Ferry belum dingin. Ia masih berteriak, “Tapi pertunangan itu harus dibatalkan!”

Indra yang sudah mau dingin jadi memanas kembali. “Fer, aku bisa meyakinkanmu kalau aku tidak akan membatalkan pertunangan itu!”

“Kau memang bangsat!” teriak Ferry kalap kembali.

“Fer!” tegur ayahnya dengan keras.

Silvia segera menarik Indra untuk menjauh dari tempat itu. Digiringnya Indra untuk masuk ke ruang belakang. Silvia mendudukkannya di dekat meja makan, kemudian mengambil segelas air putih yang dingin.

“Minumlah, agar kau lebih dingin,” kata Silvia sambil duduk di hadapan Indra.

Indra meminum air itu, kemudian menatap ibunya. “Ma, Ferry tidak bisa menuntut seperti itu...”

“Mama tahu, Ndra,” hibur Silvia. “Mama sendiri juga bingung. Kau merasa berhak, sementara Ferry juga sama.”

“Tapi saya mencintai Anisa, Ma,” kata Indra sungguh-sungguh. “Saya sangat mencintainya.”

Silvia menjawab bijak, “Mama percaya kau mencintai Anisa sebesar Ferry mencintainya.”

“Saya juga tidak ingin kehilangan dia,” suara Indra makin lemah. “Saya belum pernah merasakan cinta seperti yang sekarang saya rasakan...”

Silvia menepuk-nepuk punggung tangan Indra di atas meja. “Mama tahu...”

Indra mulai berharap. Dia menatap wajah ibunya dan berkata, “Jadi, Mama setuju pertunangan itu diteruskan? Mama setuju Anisa tetap dengan saya?”

Silvia menjawab, “Seperti yang tadi Mama bilang, Mama juga bingung untuk memutuskan hal itu. Kalian berdua menginginkan hak yang sama, sementara Anisa hanya satu. Jadi biarlah besok Mama akan undang Anisa kemari. Biarlah dia yang akan menentukan siapa yang harus dipilihnya.”

***

Hari itu semua media massa menyiarkan berita yang sama, mengabarkan artis Indra Gunawan yang disangka telah tewas dalam kecelakaan ternyata masih hidup. Berita itu pun menjadi sajian utama di televisi dan koran-koran.

Sementara itu, di salah satu sudut pusat kota Semarang, Johan tengah terkantuk-kantuk di atas kursi dalam kantornya setelah semalam tak tidur lagi. Hidupnya dari waktu ke waktu hanya dihabiskan untuk pekerjaannya, dan dia sama sekali tak berminat menjenguk dunia di luar kantornya. Dia masih asyik menghitung hari. Tabloidnya terbit hari Minggu, sementara ini hari Kamis. Tiga hari lagi tabloidnya akan terbit dan akan menciptakan kehebohan. Johan merasa sudah tak sabar lagi untuk merasakan orgasme yang biasa dirasakannya, saat melihat tabloidnya menciptakan kegemparan seperti biasa. Dia harus berterima kasih pada gadis itu, pada Febiola, atas informasi luar biasa yang telah diberikannya.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 102)