Hati yang MemilihDimas, manajer Indra, segera berangkat ke Bogor, menuju villa Hasnan Wibowo, ketika produser itu menghubunginya dan mendesaknya agar segera datang. Urusan yang sangat penting, katanya.

Hasnan Wibowo menyambutnya, dan segera mengajaknya ke ruang dalam. Ketika melihat seseorang yang sedang duduk di atas sofa dan menatapnya, Dimas merasa jantungnya berhenti berdetak.

“Indra!” pekiknya tanpa sadar.

Hasnan Wibowo berkata pada Dimas, “Kau yakin dia benar-benar Indra?”

“Tentu saja saya yakin!” jawab Dimas. “Saya manajernya—tak ada yang lebih mengenalnya dibanding saya!”

Tetapi keyakinan Dimas runtuh ketika Ferry mulai menceritakan kejadian yang sesungguhnya.

“Jadi kalian bertukar tempat,” kata Dimas kemudian seperti merenung setelah Ferry selesai bercerita. “Lalu siapa yang telah bertemu denganku waktu keluarga kalian datang ke Jakarta pada hari pemakaman itu?”

“Itu Indra,” jawab Ferry pasti. “Dia berperan sebagai aku.”

Dimas terpekur seperti orang bingung. “Kenapa Indra tak mengatakan hal yang sebenarnya kepadaku...?” tanyanya kemudian, seperti pada diri sendiri.

Hal itu juga menjadi bahan pertanyaan Ferry. Tetapi kemudian Ferry membayangkan bagaimana kalutnya perasaan Indra waktu itu—kehilangan dirinya yang ia sangka telah tewas, kerisauan memikirkan identitas yang tertukar, kebingungan menghadapi Anisa...

“Dim,” ujar Ferry kemudian, “aku perlu menghubungi keluargaku di Semarang. Mungkin kau masih menyimpan nomor telepon rumahku?”

Dimas membuka ponselnya. “Aku sempat menyimpan nomor Ferry, maksudku Indra, waktu dia menemuiku pada hari pemakaman itu.” Lalu disodorkannya ponselnya pada Ferry.

Ferry memandangi sederet angka di ponsel itu, dan perlahan-lahan ia seperti ingat kembali bahwa itu adalah nomor ponselnya—nomor ponsel yang pastinya sekarang dipegang Indra. Ferry pun menghubungi nomor itu, dan Ferry bersyukur Indra yang menerima teleponnya.

 Setelah merasa yakin dengan identitas Ferry, bahwa dia bukan Indra Gunawan, juga bahwa Indra yang asli masih hidup dan tinggal di Semarang, Hasnan Wibowo dan Dimas pun membantu mempersiapkan kepulangan Ferry. Mereka juga mulai mempersiapkan keperluan konferensi pers untuk menjelaskan masalah ini. Orang-orang harus segera diberitahu bahwa Indra Gunawan masih hidup.

***

Cerita yang dituturkan Ferry itu pun perlahan-lahan mengendap ke dalam kesadaran keluarganya. Silvia kembali menangis setelah menyadari bahwa dia tidak kehilangan putranya, tidak kehilangan Ferry. Kali ini ia menangis dengan senyumannya.

“Nah,” kata Ferry kemudian sambil tersenyum menatap Indra, “apakah kau menjaga pacarku dengan baik selama aku tidak ada?”

Indra tak mampu berucap apa-apa. Sementara kedua orang tua mereka saling pandang dengan wajah kebingungan.

***

Ketika menyadari apa yang telah terjadi pada Indra dan Anisa, Ferry langsung meradang dan tak terima. Dia mengamuk dan kehilangan kendali.

“Kau tidak bisa melakukannya, Ndra!” teriaknya. “Dia pacarku, kau tahu itu!”

“Tapi kau telah mati, Fer!” balas Indra sambil berteriak pula. “Aku mencintainya, dan kami bertunangan karena menyangka kau telah mati. Aku tidak mengkhianati kepercayaanmu!”

“Sekarang kau tahu aku belum mati!” Ferry membentak. “Kau tidak bisa meneruskan pertunangan itu!”

“Fer,” Indra menurunkan suaranya, “aku mencintainya, dan dia menerimaku. Kami telah bertunangan, dan kami...”

“Kau tidak bisa meneruskannya, Ndra!” potong Ferry dengan marah. “Dia pacarku, dan kami saling mencintai. Kami belum putus, dan tidak akan pernah putus!”

“Tapi dia menerimaku, Fer!”

“Itu karena kau tidak tahu malu! Merebut pacar saudaramu sendiri!”

“Bagaimana aku tahu kalau kau masih hidup?!” balas Indra dengan marah. “Kau lenyap sampai setengah tahun! Setengah tahun! Siapa yang menyangkamu masih hidup?! Bahkan semua orang pun tahu kau sudah mati!”

“Tapi kau tahu aku sekarang masih hidup!” Ferry makin meradang. “Dan aku meminta pertunangan itu dibatalkan! Kau tidak bisa merebut Anisa dariku!”

“Fer, kau tidak bisa melakukan itu!” Indra tetap bersikukuh. “Kau telah menjadi bagian masa lalu Anisa, dan kau tidak layak memaksanya kembali padamu! Dia telah jadi milikku!”

“Aku pacarnya, Ndra!”

“Tapi aku tunangannya, Fer!”

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 101)