
Dua saudara kembar itu memiliki fisik yang sama-sama rupawan. Tinggi mereka 170 centimeter dengan berat badan proporsional, berkulit kuning bersih, dan memiliki wajah tampan yang terkesan lembut. Bila tertawa, di wajah mereka muncul kerut-kerut yang membuat mereka tampak kekanak-kanakan. Semua pesona yang ada itu cukup membuat banyak perempuan di sekolah mereka sering melirik dan mendekati mereka.
Dalam hal mendekati dan menghadapi lawan jenis, kedua saudara kembar itu memiliki perbedaan. Indra lebih percaya diri, sementara Ferry malu-malu. Indra lebih ekstrover, sementara Ferry lebih romantis. Kalau saja dua kelebihan itu bergabung, ditunjang dengan pesona fisik mereka yang rupawan, bisa dipastikan semua perempuan akan langsung masuk dalam pelukan mereka. Tetapi alam telah membagi dua kelebihan itu secara adil. Dan Indra serta Ferry pun tahu bagaimana menggabungkan dua kekuatan itu.
Ketika Ferry naksir seorang perempuan kawan sekolahnya, Ferry meminta Indra yang mendekatinya. Dalam hal pendekatan dengan lawan jenis, Indra jagonya. Dia tahu bagaimana memperlakukan seorang perempuan dengan cara yang istimewa, dan pendekatan Indra pun selalu sukses. Setelah itu, Ferry tinggal melanjutkan.
Tetapi Indra harus minta tolong Ferry saat akan menulis surat ketika Valentine Day atau ketika pacarnya ulang tahun. Indra mati kutu kalau harus menulis kata-kata, apalagi yang indah, dan Ferry tahu bagaimana menulis surat yang romantis hingga perempuan yang membacanya merasa baru turun dari langit.
***
Meskipun kemiripan mereka berdua sanggup mengelabui semua kawan, guru, tetangga, famili, bahkan juga kadang ayah mereka, tetapi Ferry dan Indra tak pernah bisa mengelabui mata ibunya. Semirip apapun Ferry dan Indra berdandan, sepersis apapun keduanya bersikap, ibu mereka tak pernah keliru dan selalu tahu mana yang Ferry dan mana yang Indra.
Silvia, ibu mereka, telah melihat dan menyaksikan keduanya sejak lahir sampai sebesar sekarang, dan dia telah menghabiskan ratusan malam panjang yang melelahkan saat mereka masih bayi. Kedekatan yang berlangsung selama bertahun-tahun itu telah memberikan gambaran yang pasti di matanya, lebih-lebih di hatinya, dalam membedakan keduanya. Tidak ada yang dapat mengelabui mata seorang ibu dalam memandang anak-anaknya.
Terkadang, Indra dan Ferry masih mencoba hal itu pada ibu mereka. Indra yang lebih sering keluar rumah kadang-kadang ditegur ibunya.
“Mau kemana lagi, Ndra? Tadi siang sepulang sekolah kau sudah keluar, sekarang mau keluar lagi, dan pasti pulangnya larut malam,” tegur ibunya seperti biasa jika melihat Indra terus-terusan keluar rumah.
Indra biasanya akan menjawab, “Lho, yang tadi siang keluar itu kan Ferry, Ma, bukan saya.”
Ibunya pun tersenyum. “Kau kira bisa membohongi Mama? Mama tahu sejak tadi siang Ferry di rumah, dan kaulah yang keluar.”
Sebagai pengusaha batik yang cukup besar, Muladi, ayah mereka, lebih sering berada di pabriknya daripada di rumah. Namun aktivitas di rumah pun sering harus ikut mengurusi pekerjaan itu. Terkadang ada telepon dari pengusaha rekanan sekota mereka yang meminta kiriman beberapa barang, dan ibu mereka pun biasanya akan meminta Indra atau Ferry untuk mengantarkannya.
“Fer, antarkan batik ini ke Pak Haji Hamid, ya,” begitu biasanya sang ibu akan meminta.
Kalau sedang malas, Ferry akan menjawab, “Giliran Indra dong, Ma. Tadi sore kan saya sudah mengantarkan ke Ibu Ilyas?”
“Lho, yang mengantarkan ke Ibu Ilyas tadi kan Indra?”
Ferry pun akhirnya tahu bahwa meskipun kadang ayahnya bisa dikelabui, ibunya tak pernah bisa dibohongi.
Ketika akhirnya Indra dan Ferry sama-sama menyadari ibu mereka tak akan dapat dikelabui kemiripan mereka, keduanya pun tak pernah mencobanya lagi.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 6)