heart, hatiRupanya yang dikhawatirkan Ferry memang benar. Anisa bukan hanya masuk angin seperti yang dikatakannya. Dokter di RSUD menyatakan Anisa mengalami gejala tipus. Anisa pun harus menginap di RSUD untuk opname, dan Ferry segera menghubungi orang tua Anisa melalui ponselnya.

Sambil menunggu Anisa yang masih diperiksa di IGD, Ferry duduk termangu di lobi rumah sakit. Rizal telah kembali ke kampus karena harus mengikuti ujian kedua. Ferry menyandarkan tubuhnya dengan pikiran kacau. Lalu-lalang orang di depannya sama sekali tak ia hiraukan. Pikirannya tertuju pada Anisa, juga pada ujian susulan, karena sekarang tak bisa mengikuti ujian kedua. Selalu ada masalah, batinnya.

Lamunannya tersentak ketika tiba-tiba seorang perempuan berdiri di hadapannya, dan memekik penuh keterkejutan.

“Ya Tuhan, Indra!” pekik perempuan itu.

Ferry menengadah dan memandang sosok yang berdiri di hadapannya. Seorang gadis dengan wajah menawan, berusia dua puluh tahunan, bertubuh tinggi semampai dengan celana dan t-shirt agak ketat. Ini bukan pertama kalinya dia disangka Indra oleh orang lain.

“Kau Indra...? Bagaimana kau bisa sampai di sini?” Perempuan itu menampakkan mata berbinar-binar penuh keterkejutan yang menyenangkan.

Ferry memaksakan senyumnya dan menjawab, “Maaf, aku bukan Indra.”

“Tapi kau Indra!” Perempuan itu tersenyum dengan yakin. “Aku menonton semua sinetronmu! Ini benar-benar kejutan buatku!”

Ferry kembali memaksakan senyumnya. “Sungguh, aku bukan Indra...”

Perempuan itu seperti mulai sadar melihat kesungguhan Ferry. “Tapi kau benar-benar mirip Indra...”

“Aku saudara kembarnya,” jawab Ferry, mengulangi jawaban yang biasa dikatakannya pada orang-orang lain.

“Indra punya saudara kembar?” Perempuan itu justru tampak makin bersemangat. Sekarang dia duduk di sebelah Ferry.

Ferry mengangguk. “Ya, dan orang-orang sering menyangka kalau aku Indra.” Ferry tidak tahu itu berkat ataukah kutukan.

Perempuan itu memperhatikan wajah Ferry. “Kau benar-benar mirip Indra,” gumamnya. “Aku baru tahu Indra punya saudara kembar. Aku dan mamaku sangat menggemari sinetronnya. Mm, boleh tahu namamu?”

“Ferry,” jawab Ferry sambil menatap perempuan di sampingnya.

“Namaku Febiola.” Perempuan itu tersenyum. “Kau bisa panggil aku Febi. Oh ya, omong-omong, kau sedang apa di sini?”

Ferry menjawab jujur, “Pacarku baru saja masuk ke sini. Aku sedang menunggunya selesai diperiksa.”

Wajah Febiola menunjukkan rasa kecewa, tapi buru-buru mengulum senyum dan bertanya dengan nada prihatin, “Dia, eh, maksudku pacarmu, kecelakaan?”

“Tidak, dia cuma kecapekan. Tadi pingsan di kampus, lalu kubawa kemari.”

Febiola menganggukkan kepalanya. “Jadi, kau masih kuliah? Dimana?”

“Di UNB.” Universitas Nusa Bhakti. Lalu untuk sopan-santun, Ferry pun bertanya, “Kau juga masih kuliah?”

“Iya, di STC.” Semarang Training Center.

Lalu mereka terdiam. Febiola seperti kehabisan bahan pertanyaan, dan Ferry memang sejak awal tak berminat dengan pertemuan juga perkenalan ini. Ia sedang berharap perempuan di dekatnya itu segera pergi, ketika ponsel di saku celananya berbunyi. Tampak nama Rizal di layar ponselnya.

“Zal?” sapa Ferry.

“Kau masih di rumah sakit, Fer?” suara Rizal.

“Iya.”

“Anisa tidak apa-apa, kan?”

Ferry selalu terharu dengan perhatian sahabatnya. “Tidak apa-apa, sih. Cuma kata dokternya tadi, dia kena gejala tipus.”

“Kau perlu ditemani?”

“Aku sudah banyak merepotkanmu, Zal. Tidak usahlah,” jawab Ferry merasa tidak enak. “Kau sudah selesai ujian?”

“Baru saja keluar. Oke, Fer, semoga Anisa cepat sembuh.”

“Thanks, Zal.”

Saat Ferry memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana, Febiola bertanya dengan halus, “Kau tidak keberatan kalau aku minta nomor ponselmu?”

Ferry tak punya jawaban lain selain, “Sama sekali tidak.”

Febiola mengambil ponselnya, dan Ferry mendiktekan nomor ponsel miliknya. Kemudian Febiola menelepon nomor itu. Setelah yakin ponsel di saku celana Ferry berbunyi, Febiola pun mematikan ponselnya dan tersenyum.

“Fer, aku harus segera ke atas. Ada temanku yang masih dirawat di sana.” Ia bangkit berdiri dan menatap Ferry. “Aku senang bisa berkenalan denganmu. Semoga pacarmu cepat sembuh.”

Ferry mengangguk. “Temanmu juga.”

Febiola pun berlalu dengan langkah-langkahnya yang gemulai.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 4)