
“Kepalamu masih pusing?” tanya Ferry pada Anisa yang masih terbaring.
“Lumayan,” jawab Anisa lemah.
“Perlu balsam?”
“Tadi sudah diberi Bu Hesti.”
Bu Hesti adalah petugas yang biasa menjaga klinik kampus. Di antara semua yang ada di kampusnya yang luas, Ferry menganggap keberadaan klinik ini merupakan salah satu rahmat di dalamnya. Ferry bersyukur para pejabat di kampusnya punya pikiran membangun sebuah klinik, hingga ketika ada masalah darurat seperti sekarang tidak terlalu merepotkan. Kebetulan juga, salah satu orang yang beberapa kali menikmati tempat ini adalah Anisa.
Rizal datang dengan membawa bungkusan yang kemudian ia serahkan pada Ferry. Ia menyapa Anisa sebentar, kemudian keluar lagi.
Ferry membuka bungkusan itu. Ada beberapa roti dan sebungkus nasi, juga dua plastik teh hangat.
“Sekarang kau makan dulu,” kata Ferry sambil membantu Anisa duduk.
Ferry membuka bungkusan nasi, lalu menyiapkan sendok plastik yang ada dalam bungkusannya. “Mau disuapi?”
Anisa tersenyum lemah. Dia bersyukur memiliki kekasih seperti Ferry. Anisa merasakan tubuhnya benar-benar lemah, dan ia pun tak menolak ketika kemudian Ferry menyuapkan nasi ke mulutnya.
Sambil menunggu Anisa mengunyah makanannya, Ferry menuangkan teh hangat dari plastik ke dalam gelas yang tersedia di sana.
Beberapa suapan lagi, dan Ferry pun tersenyum. Setelah nasi ini habis, pikir Ferry, Anisa pasti akan sehat kembali.
“Sudah, Fer,” kata Anisa menghentikan suapan Ferry.
“Sedikit lagi. Ini sudah hampir habis,” jawab Ferry.
Anisa menggeleng. “Mulutku pahit sekali. Aku juga sudah kenyang.”
Ferry mengambil gelas dan memberikannya pada Anisa. Anisa minum perlahan-lahan. Teh hangat itu terminum separuh, dan Anisa memberikan gelasnya kembali pada Ferry. Lalu menyandarkan punggungnya ke bantal.
Sesaat kemudian, Anisa tersedak dan tubuhnya terhuyung ke depan. Ia muntah tanpa dapat dicegahnya. Ferry memegangi kedua bahu Anisa yang terus muntah mengeluarkan semua yang baru saja dimakannya.
“Kau pasti sakit, Nis,” kata Ferry setelah Anisa bersandar pada bantal kembali. “Bagaimana kalau sekarang ke rumah sakit?”
Anisa menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa, Fer. Paling cuma masuk angin.”
“Tapi wajahmu pucat sekali.” Ferry menyentuh kening Anisa, dan merasakan suhu tubuhnya panas sekali. “Kau harus mendapatkan pertolongan. Aku takut terjadi apa-apa denganmu.”
Ferry keluar dari ruangan itu, dan mendapati Rizal masih duduk di depan klinik. “Zal, kau bawa mobil?” tanya Ferry dengan wajah bingung.
Rizal mengangguk. “Ada apa?”
“Sepertinya aku perlu membawa Anisa ke rumah sakit.”
Rizal langsung paham. “Baiklah, kautunggu di sini.”
Beberapa saat kemudian, Rizal kembali dengan membawa mobilnya. Ferry memapah Anisa untuk memasuki mobil Rizal, dan mereka melaju ke RSUD, satu-satunya rumah sakit terdekat dari kampus mereka.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 3)