heart, hatiOrang tua Anisa juga selalu menyambut Ferry dengan ramah setiap kali Ferry datang mengunjungi Anisa. Ferry telah menunjukkan keseriusannya dalam menjalin hubungan dengan putri mereka, dan kedua orang tua Anisa menghargai itu.

Mereka bahkan sangat tersentuh ketika mengetahui besarnya perhatian Ferry kepada Anisa. Sudah beberapa kali Anisa pingsan secara tiba-tiba, dan Anisa pun menceritakan pada ibunya bagaimana Ferry mengurusi dirinya ketika hal itu terjadi. Kedua orang tua Anisa juga berkali-kali mengucapkan terima kasih ketika kemarin Ferry membawa putri mereka ke rumah sakit karena pingsan di kampus, dan secara diam-diam membayar seluruh biaya perawatannya.

“Fer,” kata Anisa lembut sambil menyentuh tangan Ferry. “Kau melamun?”

Ferry tersentak dan mencoba tersenyum.

“Apa yang kaupikirkan?” tanya Anisa lagi sambil menatap Ferry.

“Tidak apa-apa.”

Mereka menikmati minuman di gelasnya masing-masing, dan merasakan keringat keluar dari wajah mereka setelah menikmati soto ayam yang panas dan teh yang hangat.

“Indra belum pulang ke Semarang lagi, Fer?” tanya Anisa yang juga mengenal saudara kembar Ferry.

“Belum,” jawab Ferry sambil menyeka wajahnya dengan kertas tisu. “Tapi mungkin tidak lama lagi akan pulang. Kemarin dia nelepon, katanya ingin pulang pas libur semesteran.”

“Dia sudah mulai kuliah lagi?”

“Belum, sih. Cuma katanya kalau pas liburan kan aku tidak kuliah, jadi bisa menemaninya di rumah.”

“Sampai sekarang pun kalian tetap sangat mirip, Fer.” Anisa sudah sering mendengar cerita Ferry tentang dia dan saudara kembarnya yang dulu sering membuat orang bingung membedakannya, juga seringnya dia disangka Indra. “Setiap kali nonton sinetron Indra, aku selalu merasa sedang melihatmu. Pantas saja kalau cewek-cewek di rumah sakit juga menyangka begitu.”

“Itu benar-benar kutukan buatku,” kata Ferry dengan ekspresi yang lucu.

Anisa tertawa. “Hei, disangka artis kan tentu sangat menyenangkan?”

“Kalau satu dua kali sih iya. Tapi kalau terus-menerus, aku merasa kalau lama-lama bakal jadi gila.”

Anisa lagi-lagi tertawa melihat ekspresi Ferry. “Kenapa tidak dimanfaatkan saja, Fer?”

“Dimanfaatkan bagaimana?”

“Kalau ada yang menyangkamu Indra, bilang saja iya. Itu kan bisa membuatmu mendapat hal-hal yang tidak mungkin kaudapatkan kalau kau bukan Indra. Hehehe...”

***

Di siang yang sama, Indra tengah terlelap di kamarnya yang nyaman saat ponsel di dekatnya berbunyi dan membangunkan kenikmatan tidurnya. Sisa-sisa kelelahan yang dirasakannya dari pesta semalam membuatnya ogah-ogahan saat mengambil ponselnya. Ada nama Doni Dugem di layar ponselnya.

“Halo...” sapa Indra dengan suara mengantuk, menyapa Doni di seberang sana.

“Halo, Ndra. Sori, masih tidur ya?” Suara Doni terdengar tanpa rasa bersalah.

“Iya...” jawab Indra dengan suara masih mengantuk.

“Kau tidak ada syuting?”

“Lagi break. Ada peralatan rusak.”

“Bagus! Nanti malam Viona mau bikin pesta di...”

“Sepertinya aku tidak bisa, Don,” potong Indra.

“Kau ada acara?”

“Aku capek sekali.”

“Hei, acaranya nanti malam, bukan sekarang. Kau masih bisa istirahat sampai nanti sore dan...”

“Oke, oke.” Indra kembali memotong dengan tak sabar. “Nanti hubungi aku lagi. Aku masih ngantuk sekali nih.”

Doni pun mematikan ponselnya.

Indra menggeliat, meregangkan tubuhnya yang masih terasa lelah. Kemudian ia bangkit dari tempat tidur dengan mata yang masih mengantuk. Dilihatnya jam di dinding kamarnya. Pukul satu. Itu berarti dia telah tidur lima jam.

Sebenarnya, Indra tak berminat dengan pesta yang ditawarkan Doni tadi bukan hanya karena tubuhnya yang capek, tapi lebih karena jenuh dengan segala macam pesta yang biasa diikutinya itu. Pesta semalam suntuk. Mabuk. Dansa. Menghabiskan malam. Pada awalnya Indra memang menikmati acara-acara semacam itu, tapi lama-lama dia merasa jenuh dan mulai bosan. Berkumpul dan berpesta bersama artis-artis yang lain pada mulanya memang terasa menyenangkan, tapi lama-lama hanya terasa menjadi rutinitas yang membosankan.

Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 11)