.jpeg)
Ujian mata kuliah statistik selalu menciptakan suasana seperti itu—keresahan sekaligus ketegangan. Ini mata kuliah yang tidak disukai mayoritas mahasiswa Fakultas Pendidikan di kampus itu. Bukan hanya karena isinya penuh angka dan hitungan yang memusingkan, tapi juga karena dosennya menyebalkan, dan... pelit memberi nilai. Mata kuliah statistik selalu jadi momok dalam tiap semester. Dari semua mahasiswa yang mengikutinya, hampir bisa dipastikan cuma sepuluh persen yang akan lulus, dan sembilan puluh persen lainnya harus mengulang.
Jarum jam terasa cepat berjalan. Pukul 09:50. Sesaat lagi waktu ujian akan selesai. Para mahasiswa di kelas itu semakin gelisah. Petugas pengawas yang terjaga dari kantuknya terdengar bergumam, “Kalau sudah selesai, langsung dikumpulkan saja...”
Di saat itulah, Ferry merasakan ponsel dalam saku celananya bergetar. Diambilnya ponsel itu, dan tampak tanda datangnya sebuah SMS. Ferry membuka SMS itu dan membacanya, sementara petugas penjaga menatapnya dengan curiga.
“Fer, pacarmu pingsan. Sudah dibawa ke klinik kampus, tapi belum sadar.” SMS itu dikirim oleh Rizal, sahabatnya, yang menempati ruang kelas lain.
Ferry memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Bukan pertama kalinya Anisa—pacarnya—mengalami pingsan mendadak seperti ini. Setiap kali menghadapi sesuatu yang membutuhkan pikiran atau konsentrasi, Anisa sering mengalami pingsan mendadak. Ujian statistik yang jelas membutuhkan konsentrasi pikiran ini pun mungkin menjadi penyebab pingsannya kali ini.
Ferry mempercepat mengerjakan soal-soal ujiannya, kemudian mengumpulkan lembar jawaban ujian ke meja pengawas, dan segera keluar dari kelasnya. Ia langsung menuju klinik kampus yang jaraknya cukup jauh dari ruang kelasnya.
“Fer!” Rizal tampak berjalan dari arah depannya. “Sudah menemui pacarmu?”
“Aku baru mau ke sana, Zal,” jawab Ferry. “Thanks, ya.”
Rizal menemani Ferry menuju klinik. “Fer, kenapa sih Anisa sering pingsan seperti itu?”
“Aku juga tidak tahu, Zal. Mungkin tadi pagi lupa sarapan. Fisiknya memang cukup lemah. Kalau terlalu berpikir berat, dia sepertinya tidak kuat.”
“Tadi dia masih mengerjakan soal ujiannya, tapi tiba-tiba menelungkup sambil memegangi kepalanya.” Rizal menceritakan. “Kupikir cuma pusing karena mengerjakan statistik, tapi kemudian dia terjatuh dari kursinya.”
“Seharusnya kita semua juga perlu pingsan setiap kali ujian statistik,” ujar Ferry sambil tersenyum.
Mereka sampai di depan klinik kampus yang sepi seperti biasa. Rizal mengatakan akan duduk-duduk di depan klinik. Ferry masuk, menemui petugas yang berjaga, dan segera mendekati Anisa yang masih terbaring di atas tempat tidur. Sekarang dia sudah sadar, namun wajahnya terlihat letih dan pucat.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Ferry prihatin.
Anisa menjawab lemah, “Tidak apa-apa... aku cuma capek.”
“Tadi sudah sarapan?”
Anisa menggeleng. “Tadi buru-buru sekali, jadi tidak sempat.”
Ferry segera keluar dari ruang klinik untuk mencari makanan. Dia merasa kesal juga. Sudah berkali-kali dia berpesan pada Anisa agar jangan pernah telat sarapan, tapi selalu saja ada alasan untuk tidak sarapan.
“Bagaimana keadaannya, Fer?” tanya Rizal saat Ferry keluar dari dalam klinik.
“Masih lemah. Seperti yang kubilang tadi, dia belum sarapan,” kata Ferry. “Aku mau ke kantin dulu, cari makanan buat Anisa.”
Rizal buru-buru bangkit. “Biar aku yang ke kantin, Fer. Kau tunggui saja pacarmu.”
Ferry menatap sahabatnya dengan terharu. Semenjak SMA hingga sekarang, Rizal tetap menjadi sahabatnya yang terbaik.
Baca lanjutannya: Hati yang Memilih (Bagian 2)