Misteri Villa Berdarah

Aku sengaja menunggu pertengkaran di ruang depan berhenti dulu sebelum mematikan listrik dari sekering sesuai dengan rencana Ricky. Setelah pertengkaran itu sepertinya telah terhenti, aku pun mematikan sekering yang ada di kamarku, dan seluruh lampu dalam villa itu pun menjadi padam. Aku mendengar Cheryl menjerit ketakutan, lalu Ricky mungkin berlari keluar mengambil lilin yang memang telah dipersiapkan di dalam mobilnya. 

Sebenarnya, beberapa saat setelah itu aku sudah harus keluar dan menampakkan diri untuk menakut-nakuti kawan-kawan kami dan membiarkan mereka menjerit-jerit ketakutan ketika mengetahui kalau pintu villa ini kini telah terkunci. Tetapi aku sengaja tidak keluar sampai beberapa waktu lamanya, hingga kemudian Ricky mungkin menjadi jengkel dan lalu menemuiku sendirian di dalam kamarku. 

Dia bertanya mengapa aku tidak juga keluar, dan aku menjawab kalau aku tidak tahu apakah dia sudah mengambil lilin dan mengunci pintu villa ataukah belum. Ricky mengatakan kalau dia sudah mengunci pintu villa dan dia tertawa saat menunjukkan anak kuncinya kepadaku. Dia bahkan sempat menceritakan kalau dia sengaja mencabut kabel telepon dari pesawatnya lalu berpura-pura telepon tak berfungsi lagi ketika kawan-kawan kami meminta agar Ricky menghubungi polisi.

Ricky lalu menegaskan kalau aku sudah saatnya untuk keluar dan membuat kehebohan kawan-kawan kami, lalu Ricky beranjak ke kamar mandi. Karena suasana yang gelap, dia tidak tahu kalau aku ada di belakangnya dan telah mempersiapkan kapak yang ada di villa itu, dan kugunakan langsung untuk membantainya. 

Ricky tewas seketika di depan kamar mandi, dengan luka mengerikan seperti yang telah kubayangkan. Aku mengambil anak kunci di saku jaketnya, lalu kuganti dengan anak kunci kamar tempatku berada. Aku berpikir, bisa saja salah satu kawanku yang nantinya akan sampai pada kesimpulan bahwa Rickylah yang telah mengunci pintu villa.

Aku kembali ke kamarku, meletakkan guling di tempatku semula dan menutupinya dengan selimut seperti sebelumnya agar apabila ada yang sampai memasuki kamarku, mereka akan mengira kalau sosok tertutup selimut di atas springbed itu memang benar-benar aku. Aku yakin kawan-kawanku tak akan ada yang curiga kepadaku apalagi sampai berpikir untuk mengecek keadaanku. 

Aku lalu beranjak ke dapur, bersembunyi di balik lemari, dan menunggu keadaan memungkinkanku untuk beraksi kembali. Aku terdiam dengan tenang, menanti saat-saat pembunuhan kedua...

Dari tempatku, aku mendengar suara Nirina yang menjerit ketakutan, mungkin karena melihat mayat Ricky, lalu aku juga mendengar suara-suara Edi dan Heru yang mencoba mencari jalan keluar dari villa. Suasana yang gelap itu begitu membantuku bergerak leluasa, dan saat aku mendengar Edi serta Heru memasuki kamar tempat ‘mayat’ku diletakkan, aku bergerak mendekati mereka. 

Ketika Heru telah masuk ke dalam kamar dan Edi masih ragu-ragu mengikutinya, dengan nekat aku membekap mulut Edi dan segera menariknya ke arah dapur. Edi yang ketakutan dan sangat panik itu begitu mudah kutaklukkan, dan saat Edi masih kebingungan serta ketakutan mendapat serangan yang begitu mendadak itu, aku langsung membunuhnya seperti aku membunuh Ricky…

Sekarang aku tahu bagaimana sensasi kenikmatan yang ditimbulkan dari membunuh seseorang. Sekarang aku menyadari mengapa ayahku seperti merasa kecanduan menyiksa dan menganiaya ibuku setiap malam. Sekarang aku bisa merasakan bahwa membunuh itu mendatangkan suatu rasa kepuasan, suatu sensasi kenikmatan, suatu perasaan berkuasa yang tak terkalahkan. Dan lebih kuat dari candu apapun, kenikmatan membunuh itu seketika telah menguasaiku dan aku sudah ingin melanjutkan pembunuhan berikutnya...

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (67)