Misteri Villa Berdarah

Petugas medis pun tidak jadi menutupkan kain putih pada mayat di atas brankar itu. Lalu Komandan Indrawan mendekatinya, dan dengan perlahan-lahan ditariknya sesuatu yang ada dalam genggaman mayat itu. Segulung kertas yang putih bersih. Diambilnya kertas itu, lalu dengan aba-aba tangannya Komandan Indrawan memerintahkan agar mayat itu segera dipindahkan ke ambulan.

Komandan Indrawan membawa gulungan kertas itu, lalu ia duduk di salah satu sofa di ruang depan yang cukup bersih, kemudian perlahan-lahan diluruskannya gulungan kertas yang ada di tangannya. Ada beberapa lembar kertas ukuran folio dengan tulisan-tulisan tangan yang cukup rapi di dalamnya.

Komandan Indrawan merasakan bulu kuduknya tiba-tiba merinding ketika mulai membaca kata-kata yang tertulis di atas lembaran-lembaran kertas itu...

Selamat tahun baru.

Meskipun aku tak pernah bisa lancar saat berbicara, namun aku bisa cukup lancar ketika menulis. Aku sengaja menulis catatan ini untuk ditemukan siapapun yang berkepentingan, agar mengetahui bahwa mayat-mayat yang ditemukan di dalam villa ini bukanlah dibunuh oleh roh gentayangan ataupun dimangsa binatang buas. Akulah yang membunuh mereka...

Ya, aku mengakui bahwa akulah yang telah membunuh mereka semuanya. Ricky, Edi, Cheryl, Jefry, Renata, Heru, juga Nirina. Itu adalah nama mayat-mayat yang ada di dalam villa ini. Mereka semua kawanku, dan akulah pembunuh mereka. 

Aku tahu, aku tak mungkin diajukan ke muka hakim di pengadilan untuk diadili karena saat surat ini ditemukan, aku pun pasti telah menjadi mayat, sama seperti mereka. Namun meskipun aku tak bisa mengajukan pembelaan apapun di muka pengadilan, aku ingin kau tahu mengapa aku membunuh mereka...

Mungkin kau berpikir aku gila, atau tak waras, karena membunuh kawan-kawanku sendiri. Tetapi jika kau berada di tempatku, menjalani hidup dalam kehidupanku, maka kau pun pasti akan melakukan sesuatu yang kini telah kulakukan. Semenjak kecil aku diperlihatkan kekejaman demi kekejaman yang nyata, yang begitu nampak di depan mata kecilku bertahun-tahun yang lalu; kekejaman yang dilakukan oleh ayahku sendiri terhadap ibuku; kekejaman yang amat mengerikan di mataku bertahun-tahun yang lalu...

Dan semuanya itu masih tergambar begitu jelas di dalam otakku, di dalam pikiranku, di dalam bawah sadarku. Sekuat apapun aku mencoba melupakannya, bayangan mengerikan itu tetap saja menghantui dalam pikiranku, dalam hidupku, dan aku tak pernah mampu melupakannya. Dosa apakah aku hingga aku dilahirkan oleh orangtua yang hanya mengajarkanku kekerasan, kekejaman dan perilaku yang tak berperasaan...?

Jika kau menjalani hidup seperti dalam kehidupanku, maka kau pasti heran mengapa aku tak menjadi gila karenanya. Semenjak kecil, setiap malam, setiap kali aku akan tidur, setiap kali pula bayangan menakutkan menghantuiku. Aku tahu, bahwa beberapa jam setelah aku tertidur, ayahku akan datang dan menggedor-gedor pintu rumah dan membangunkanku, juga ibuku. Dan aku pasti dipaksa menyaksikan kekejaman demi kekejaman, penganiayaan demi penganiayaan, tangis demi tangis yang seolah tanpa akhir, tak pernah selesai...

Sampai kemudian ketika aku menyaksikan dengan perasaan ngeri, ketika ibuku terbunuh suatu malam menjelang pagi, aku berpikir bahwa mungkin itulah saat terakhir malam gelap dalam hidupku. Aku berpikir bahwa mungkin mimpi-mimpi burukku akan usai sampai di situ. Tetapi rupanya aku salah sangka. Kematian ibuku hanya menjadi awal dari malam-malam panjang yang sama suramnya, awal dari rangkaian mimpi-mimpi buruk dalam hidupku yang seolah tak pernah usai. Kehidupanku selanjutnya benar-benar seperti malam yang tanpa akhir...

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (64)