Misteri Villa Berdarah

1 Januari,
satu hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...

Duduk berdua dengan dua gelas bir di ruang depan, Heru dan Jefry nampak sama-sama letih. Mereka merasakan kepala mereka sedikit ringan setelah meneguk bir dari gelas masing-masing, namun ketegangan suasana yang mencekam dan kenyataan yang mengerikan dalam villa itu tetap tak dapat membuat mereka tenang. Asap rokok terlihat mengepul-ngepul dari mulut mereka, sementara hujan masih deras mengguyur bumi. Heru dan Jefry pun masih sama-sama mendengar lolongan anjing samar-samar di kejauhan.

Di bawah nyala lilin yang tak terlalu terang, Heru menengok jam di tangannya. Pukul 02:37. Oh, mengapa waktu terasa lambat sekali berjalan...?

“Her, menurutmu, apa sebenarnya yang terjadi di villa ini?” tanya Jefry memecahkan keheningan.

“Aku sama sekali tidak tahu, Jef,” sahut Heru dengan letih. “Semuanya terjadi begitu cepat dan...misterius...”

“Kamu percaya kalau...” Jefry tak berani melanjutkan ucapannya sendiri.

“Kalau villa ini angker?” tanya Heru menyambung ucapan Jefry yang terputus.

“Yeah...seperti yang dikatakan Edi tadi.”

“Mungkin saja iya.”

“Oh, sialan si Ricky! Kenapa dia malah membawa kita ke sini?!”

“Jangan lupa, Jef, dia sudah mati.”

“Barangkali kita semua pun akan mati, Her, mati seperti mereka...”

“Jangan berkata begitu, Jef. Kita bisa bertahan menunggu pagi dan semoga saja ada orang yang datang...”

“Itu...itu harapan yang tak pasti, kan?”

“Tak pasti, tapi setidaknya kita masih bisa berharap!”

Jefry nampak menyandarkan tubuhnya dengan letih pada sofa sambil menghembuskan asap rokoknya. Ia lalu berkata seperti merenung, “Kenapa aku tidak mau menuruti kata Renata...? Mengapa aku malah memaksanya ikut ke sini...?”

“Apakah Renata tidak ingin kesini?” tanya Heru dengan bingung.

“Yeah, dia terus-menerus memintaku agar tidak ikut acara ke sini, katanya perasaannya tidak enak terus. Tapi aku malah menyangkanya kalau dia terlalu dikuasai oleh perasaannya sendiri. Ternyata nalurinya memang benar...”

Heru nampak terdiam sesaat, kemudian berujar, “Yang membuatku tidak habis pikir, Jef, mengapa kita bisa terkunci di sini? Siapa yang telah mengunci pintu villa ini dan kemana kuncinya...?”

“Aku tidak tahu, Her,” jawab Jefry dengan letih.

“Kamu ingat siapa yang terakhir menutup pintu villa ini?”

“Kalau aku tidak salah ingat, kan kamu sendiri yang terakhir menutupnya,” jawab Jefry. “Hm, tadi...setelah kita melihat bunga api itu, ingat?”

Heru seperti mengingat-ingat. Segala peristiwa yang telah terjadi malam itu telah mengacaukan semua pikirannya. “Tapi seingatku, aku tidak menguncinya, Jef. Aku bahkan tidak sempat menyentuh kunci pintunya.”

“Mungkin kamu lupa?”

“Tapi sepertinya tidak,” jawab Heru merasa yakin. “Kalaupun aku menguncinya, rasanya aku tidak mencabut anak kuncinya...”

Jefry seperti ikut memikirkan hal itu. Dia seperti tengah berpikir keras, sampai kemudian dia menatap lilin yang menyala di atas meja dan segera teringat sesuatu, “Oh iya, Her, mungkin Ricky yang terakhir menutup pintu itu.”

“Ricky...?”

“Kamu ingat ketika lampu tiba-tiba padam?” tanya Jefry dengan sungguh-sungguh. “Mungkin kamu atau Edi bertanya pada Ricky apakah dia punya persediaan lilin. Lalu Ricky bilang kalau dia punya lilin di mobilnya. Ingat? Ricky lalu keluar dan mengambil lilin di mobilnya dan...ya, tak salah lagi, Her, Rickylah yang terakhir kali menutup pintu villa dan dia pula yang pasti telah menguncinya!”

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (57)