Misteri Villa Berdarah

Jefry sebenarnya sudah berencana memecahkan kaca jendela depan, tapi diurungkannya niat itu ketika mengetahui bahwa di balik jendela kaca itu ada kisi-kisi besi yang tetap tak akan mampu diterobosnya seandainya kaca itu hancur semua sekalipun. Mereka kini benar-benar telah terkurung.

“Apa tidak sebaiknya kita mencoba mencari jalan keluar lain, Her?” tanya Edi. “Mungkin kita belum tahu kalau ternyata ada pintu samping atau di belakang, atau ada pintu keluar di salah satu kamar...”

Usulan itu sepertinya tak masuk akal di telinga Heru. Dia tahu pasti kalau villa itu hanya memiliki satu pintu depan, dan sejak dia mengelilingi seluruh villa ini tadi sore, dia tidak menemukan satu pun pintu keluar lain. Tapi dalam keadaan terdesak seperti itu, usulan itu pun direspon Heru dengan sedikit harapan. “Yah, tak ada salahnya kita coba. Mungkin memang ada pintu lain yang belum kita tahu...”

“Hei, hei, jangan tinggalkan kami!” teriak Jefry dengan panik. Dia tidak bisa bebas pergi karena keadaan tubuh Renata yang sangat lemah, sementara dia sendiri tidak tega kalau harus meninggalkan Renata.

“Kamu tunggu saja di sini, Jef,” kata Heru. Lalu ia berpaling pada Cheryl. “Cher, kamu juga di sini, ya. Temani Jefry dan Renata.”

Cheryl tak menjawab apa-apa. Dia memang tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia merasa takut kalau mengikuti Heru dan Edi untuk menyusuri villa itu, sementara dia pun merasa ketakutan kalau ditinggalkan oleh Heru. Tetapi Cheryl akhirnya menuruti ucapan Heru untuk tetap tinggal di ruang depan itu. Dia lalu duduk di dekat jendela sambil menatap ke luar, berharap dia dapat melihat seseorang atau beberapa orang yang dapat dimintainya pertolongan.

Heru dan Edi segera pergi dari ruang depan sambil membawa sebatang lilin. Mereka memasuki kamar demi kamar, berharap ada pintu keluar di salah satu kamar itu, dan saat akan memasuki kamar tempat mayat Aryo berada, Heru dan Edi saling bergidik ngeri. Mereka berhenti dengan ragu-ragu di depan pintu.

“Kamu masuk dulu, Ed,” kata Heru.

“Kamu dulu,” jawab Edi dengan sama ketakutannya.

Maka dengan sedikit takut-takut, Heru pun membuka pintu kamar itu dengan lilin di tangannya. Penerangan redup dari nyala lilin itu cukup menerangi isi kamar dan Heru bergidik ngeri saat melihat mayat Aryo yang masih tertutup selimut di atas springbed. Dengan takut-takut dipandanginya seluruh bagian dinding di kamar itu dan berharap ada pintu keluar yang tadi tak sempat dilihatnya. Tapi memang tak ada pintu apa-apa di sana.

Saat Heru berbalik dan memutuskan untuk keluar dari kamar itu, Heru baru menyadari kalau Edi sudah tak ada di dekatnya.

“Oh, sialan,” rutuk Heru sendirian. “Dia malah pergi!”

Heru bergegas keluar dari kamar itu, tapi tak mendapati Edi di sana. Edi tidak membawa lilin, karena satu lilin yang mereka bawa ada di tangan Heru. Kemana dia?

“Ed...!” panggil Heru. “Eeeed, dimana kamu...?!”

Tak ada jawaban apa-apa. Villa itu terasa sangat hening, yang terdengar hanya suara gemuruh hujan di luar dan samar-samar lolongan anjing di kejauhan.

“Apa dia di kamar mandi?” pikir Heru sambil beranjak menuju ke kamar mandi. Mungkin Edi butuh buang air kecil dan masuk ke sana tanpa sempat memberitahu dirinya. “Eeed! Edi...!” Heru kembali memanggil-manggil.

Bersambung ke: Misteri Villa Berdarah (53)